Ku terdiam di sudut ruangan menyandarkan tubuhku yang
kurasakan amat lelah. Lututku ku tekuk kemudian ku peluk. Pandanganku kosong.
Aku sibuk menikmati suasana hati yang bergemuruh. Teringat semua ucapan Mama
yang berhasil membuatku terkoyak. Aku tak akan bisa setegar Mama
menghadapi ini. Perlahan air mataku
menetes membasahi pipiku. Aku tak tahu kenapa semua ini bisa terjadi padaku,
pada keluargaku.
Dengan berat aku melangkahkan kakiku menuju gedung megah yang
dihiasi kain serba putih. Terlihat beraneka macam rangkaian bunga disana. Di
sekitarku banyak sekali orang yang berusaha masuk ke dalam gedung tersebut.
Mama meraih tanganku lalu dipegangnya erat-erat seolah ia berusaha menegarkanku
menghadapi semua ini. Dengan sangat enggan aku mengikuti langkah mama memasuki
ruangan yang sangat megah itu. Mataku menangkap sesosok laki-laki yang dulu
amat berarti bagiku duduk di kursi singgasana bak seorang
raja. Di sampingnya duduk manis
seorang wanita, perenggut kebahagiaanku. Papaku telah memilih
meninggalkanku dan Mama demi
wanita bejat tersebut. Setetes air bening menggenang di sudut mataku, namun aku
mencoba menahannya agar tak jatuh di pipiku. Aku telah berjanji pada diriku
sendiri tak akan pernah meneteskan air mataku untuk lelaki pengkhianat itu. Aku sadar tak seharusnya
aku bersikap seperti itu, namun kekecewaan yang begitu dalam membuatku sulit
untuk memaafkannya, amat sangat sulit.
Mama menghentikan langkahnya. Kulirik Mama, kutatap wajah
sendunya. Tatapannya lurus mengarah pada lelaki bejat itu. Namun tak kulihat
ada setitik kebencian pun di raut wajahnya. Oh Ma, andaikan aku bisa setegar
engkau. Mama menghela nafas berat. Aku tahu ia sedang berusaha mengatur perasaannya.
Aku tau ada segurat luka di
hatinya yang pasti lebih dalam daripada luka di hatiku. Ingin ku ucapkan
sepatah kata penghibur hati untuknya, namun mulut ini tetap terbungkam tak
mampu untuk mengucapkannya. Mama mulai menarik tanganku mengajakku melangkah
kembali. Ku ikuti langkah kakinya. Kini Mama mengajakku mendekati lelaki dan
wanita bejat itu. Jika bukan karena Mama, aku tak akan sudi bertemu dengannya
lagi.
“Selamat ya mas, semoga apa yang telah engkau
pilih ini adalah yang terbaik untukmu. Akan ku do’akan semoga hidupmu yang baru nanti penuh dengan kebahagiaan. Dan
aku minta do’amu agar kelak aku dan Sasha menemukan jalan kebahagiaan
kami .
Mama menyalami lelaki bejat itu. Kutatap wajah wanita bejat
di sampingnya. Angkuh. Di wajahnya tersirat seulas senyum jahat yang sarat
dengan kemenangan. Kemudian kutatap wajah lelaki bejat itu, berbeda. Rasa
hormatku yang dulu amat besar untuknya, sosok Papa yang sangat aku banggakan, yang sangat aku sayangi, kini telah hilang.
Seolah tak ada rasa hormat lagi untuknya.
“Iya Han, semoga engkau
mendapatkan yang terbaik, lelaki yang bertanggungjawab dan menyayangi keluarga.
Terimakasih ya Han sudah meluangkan waktu untuk hadir di pernikahanku.” Lelaki
bejat itu menyambut tangan. Sejurus kemudian ia memandangku. Secepat kilat aku
mengalihkan pandanganku. Enggan aku bertatapan muka dengannya. Hanya akan
menambah luka di hatiku saja.
“Sasha tak ingin bersalaman dengan Papa?” kalimat itu
terlontar dari mulut besarnya. Aku tak sanggup lagi. Kusentakkan tanganku
hingga terlepas dari genggaman Mama. Aku berlari sekuat tenaga. Masih kudengar
teriakan Mama memanggil namaku ketika aku keluar dari gedung tersebut. Aku tak
sanggup, benar-benar tak sanggup. Setetes kristal bening mengalir di pipiku.
Aku terus berlari membawa kepedihan hati ini. Entah kemana arahku berlari, yang pasti aku
hanya mengikuti kemana kaki ini akan melangkah.
Aku menghentikan langkahku di tepi danau. Air mataku semakin
deras. Hatiku terasa perih. Tak sanggup aku melewati semua ini. Sesaat
terlintas bayangan Mama di benakku. “maafkan Sasha, Ma. Maafkan, aku
benar-benar tak sanggup.” Mama pasti kecewa. Amat sangat kecewa. Terlalu berat
beban yang harus aku pikul. Ku pejamkan mataku. Ku hirup dalam-dalam udara
sekitar danau. Tenang, aku merasa tenang. Nyaman sekali. Ku buka mataku, ku
pandang segala sesuatu yang ada di hadapanku. Ajaib, sangat indah. Sudah sejak
satu jam yang lalu aku duduk disini, baru ku sadari betapa indahnya tempat ini.
Aku memandang dalam kejauhan. Terbayang sosok Papa yang dulu ku kenal. Begitu
berwibawa dan bertanggungjawab. Disela-sela kesibukannya, ia selalu menyempatkan
waktu untuk keluarga. Setiap ada kesempatan berlibur, ia selalu menanyakan
kepadaku tempat apa yang ingin aku kunjungi. Aku merasa akulah satu-satunya
orang yang paling bahagia di dunia. Aku mempunyai apapun yang di inginkan semua
orang. Aku memiliki keluarga yang sangat peduli kepadaku, rumah megah, mobil mewah,
berbagai macam mainan modern, aku memiliki semuanya. Aku pun bisa pergi
keliling dunia kemanapun aku mau bersama orang-orang tercintaku, Mama dan Papa.
Tiupan angin menyadarkan lamunanku. Kulirik jam di pergelangan tanganku. Mataku
terbelalak. Sudah sesore ini? Aku beranjak pergi, meninggalkan tempat yang
indah ini. Mama pasti menghawatirkanku.
Ku langkahkan kaki menuju halaman rumahku. Sejenak
aku berhenti. Kupandangi kursi hias di tengah taman depan rumahku. Terlihat
sekelebat bayangan masa lalu. Masa kecilku yang bahagia, bercanda ria bersama
mama papa. Meskipun aku tak punya saudara, namun aku cukup bahagia karena aku
dilimpahi kekayaan yang luar biasa dan keluarga harmonis. Disitu, di kursi itu,
kami sering duduk bertiga bercanda ria mengurai tawa. Papa yang hebat, yang
selalu kubanggakan, sosok pahlawan bagiku, dan berwibawa di hadapan semua
orang. Hanya tinggal kenangan. Aku tak ingin mengeluarkan air mataku lagi.
Perlahan aku meninggalkan taman, beranjak melangkahkan kaki melewati halaman
rumahku yang begitu luas.
Kuedarkan pandanganku ke seluruh sudut ruangan. Kudapati Mama
sedang berdiri di depan jendela yang berhadapan langsung dengan taman. Kudekati
Mama.
“Maafin Sasha, Ma. Ara tahu Mama sangat kecewa dengan sikap Sasha tadi. Ingin sekali Sasha mengikuti keinginan Mama untuk menghormati Papa. Namun sulit Ma, gejolak hati Sasha mengatakan tidak. Sasha tak sanggup.” Ku peluk Mama dari belakang. Pinggulnya kini tak seberisi dulu ketika aku masih sering sekali memeluknya, ketika Papa masih ada di tengah-tengah kami. Tubuhnya kini semakin kurus. Mama membalikkan badannya, menarik tanganku.
“Maafin Sasha, Ma. Ara tahu Mama sangat kecewa dengan sikap Sasha tadi. Ingin sekali Sasha mengikuti keinginan Mama untuk menghormati Papa. Namun sulit Ma, gejolak hati Sasha mengatakan tidak. Sasha tak sanggup.” Ku peluk Mama dari belakang. Pinggulnya kini tak seberisi dulu ketika aku masih sering sekali memeluknya, ketika Papa masih ada di tengah-tengah kami. Tubuhnya kini semakin kurus. Mama membalikkan badannya, menarik tanganku.
“Mama mengerti perasaanmu Sasha. Tak mudah bagimu menerima semua ini. Namun ini semua kenyataan, ini yang terjadi. Kamu harus menerimanya dengan ikhlas.” Mama mengusap air mataku. Air mata itu mengalir begitu saja di pipiku. Kupeluk Mama erat-erat. Kubisikkan sebuah kalimat di telinganya. “andaikan aku setegar Mama.”
Aku bersimpuh di atas sajadah merahku. Kubiarkan tangisku
pecah malam itu. Mengadukan nasib dan keadaanku kepada penciptaku. Aku tahu
semua ini adalah takdirnya.
“Ya Allah yang maha pengasih penyayang, yang maha pemurah, yang maha adil, yang maha segalanya. Hamba ini hanyalah seorang yang lemah, yang tak akan mampu menjalani hidup tanpa rahmat dan hidayahMu. Hamba tau semua ini adalah yang terbaik untuk hamba. Engkau biarkan hamba mengerti semua itu, namun kenapa tak Kau biarkan hamba mengerti tentang keikhlasan ya Allah. Ikhlaskanlah hati hamba Ya Allah, kuatkanlah hamba menghadapi semua ini. Engkaulah yang maha membolak balikkan hati ya Allah. Hanya kepadaMu lah hamba memohon pertolongan. Robbana aatina fiddunya khasannah wafil akhiroti khasannah waqinaa ‘adzaa bannar.” Aku bersujud di atas sajadahku. Menangis tersedu-sedu. Gemuruh angin kencang malam ini, menemani sujud panjangku. Aku tahu Allah mendengar do’aku. Dan itu pasti.
“Ya Allah yang maha pengasih penyayang, yang maha pemurah, yang maha adil, yang maha segalanya. Hamba ini hanyalah seorang yang lemah, yang tak akan mampu menjalani hidup tanpa rahmat dan hidayahMu. Hamba tau semua ini adalah yang terbaik untuk hamba. Engkau biarkan hamba mengerti semua itu, namun kenapa tak Kau biarkan hamba mengerti tentang keikhlasan ya Allah. Ikhlaskanlah hati hamba Ya Allah, kuatkanlah hamba menghadapi semua ini. Engkaulah yang maha membolak balikkan hati ya Allah. Hanya kepadaMu lah hamba memohon pertolongan. Robbana aatina fiddunya khasannah wafil akhiroti khasannah waqinaa ‘adzaa bannar.” Aku bersujud di atas sajadahku. Menangis tersedu-sedu. Gemuruh angin kencang malam ini, menemani sujud panjangku. Aku tahu Allah mendengar do’aku. Dan itu pasti.
Kusambut kehidupan baruku. Hanya ada aku, Mama, pekerjaanku,
dan Tuhanku. Aku akan mencoba mensyukuri apa yang telah aku punya,
mengikhlaskan semua yang sudah terjadi. Kini aku mengerti bahwa yang telah
hilang itu memang bukan hakku. Aku tersenyum memandang dunia. Ya, awal dari
segalanya, tak akan pernah kubiarkan senyum ini sirna kembali.
0 komentar:
Posting Komentar