DELIMA
“Tidak, terlalu rumit membayangkan seperti
apa bersanding di pelaminan, dengan pandangan mata yang saling bertolak satu sama lain. Dunianya,
adalah berjuta bintang mengerlip indah, di sana, di angkasa, yang tak kan
pernah ia capai. Mereka menawarkan mimpi-mimpi, hingga tiap malam ia rela
menyempatkan waktu sejenak, menghitung cahaya gemerlap bintang, berharap suatu
saat ia dapat peluk, pun satu saja. Dunianya, adalah dunia orang modern
kebanyakan, berbelanja, mengikuti trend, nonton film, jalan-jalan, dan kesenangan-kesenangan
lainnya. Dunianya, adalah kesibukan melototi layar ponsel tiap menitnya. Yah,
dunianya adalah dunia orang-orang kebanyakan, dunia wajar manusia modern. Dunia
Delima, gadis berdarah Jawa-Spanyol yang
kusayangi, adalah dunia yang diimpikan kebanyakan orang masa kini.
Aku Robert, aku menganggap dunia Delima adalah dunia yang diluar
jangkauan anganku. Bagiku, dunia seperti itu hanya menawarkan mimpi imajiner,
seperti yang ditawarkan para bintang pada
Delima. Aku menganggap, entah kenapa, dunia modernitas membuat banyak terbuai
mimpi-mimpi kesejahteraan. Yang demi mimpi itu, banyak orang rela mengorbankan
apapun, termasuk mungkin, harkat-martabat sebagai “manusia”. Jalan pintas
dianggap pantas demi tercapainya tujuan, instan adalah keseharian modernitas,
agar lebih efektif-efisien, katanya. Idealku, selalu memandang bahwa
orang-orang yang terlarut buai modernitas adalah orang-orang yang tertidur
dalam keindahan mimpi. Meski kenyataan, aku sendiri seringkali mempunyai hasrat
yang cukup besar untuk juga memiliki dunia seperti itu. Dan kenyataan pula, aku
hidup dalam keglamoran modernitas, mobil mewah, gadget, smart phone, laptop,
adalah keseharianku juga. Lantas, siapa yang sedang bermimpi?
Yah, engkau bisa jawab akulah orang yang
sedang bermimpi dalam dunianya sendiri, Dunia Utopis. Tapi aku sebenarnya
sangat ingin mengungkapkan mengapa aku seperti demikian? Tapi aku ragu, adakah
engkau mau mendengarku.”
Aku Delima, senang sekali bisa belanja
bareng mama. Kalau sama mama, pasti
keturutan semua yang ku ingin, dengan sedikit rayuan tentunya. Hari ini aku
bawa belanjaan banyak sekali. Dan yang kuidam-idamkan bulan lalu, kini sudah
tercapai, tablet i-phone keluaran terbaru.
Sebenarnya sudah punya tablet di
rumah, tapi kemarin belinya yang murahan: merk lokal, malu kalau dibawa ke
kampus. Selain tablet, beberapa stel baju juga kuborong, mumpung lagi diskon
besar-besaran. Hehe, mama sendiri juga belanja banyak banget, mentang-mentang
baru gajian.
Ini hidupku, mungkin engkau menganggap aku
orang yang boros sekali. Tapi bagiku tidak, inilah hidup. Siapa bilang aku
boros, aku menyisihkan uang sakuku tiap harinya untuk kutabung. Dengan begitu
aku mencukupi hasratku. Sebenarnya barang-barang yang kubeli tidak terlalu
kubutuhkan, tapi hanya dengan itu eksistensiku diakui. Ah, siapa yang tidak
ingin memiliki barang-barang seperti itu, di masa kini. Kita hidup di masa ini,
bukan masa lalu. Aku heran melihat orang-orang yang sok gak mau nonton film,
belanja ke mall atau lambang-lambang
modernitas lainnya, padahal tiap harinya mereka menggunakan barang-barang hasil
inovasi modernitarian.
Tapi, entah kenapa, aku tertarik dengan
seorang cowok di kelasku yang dandanannya kacau sekali. Ia terlihat norak,
kurang pergaulan, culun, pokoknya dia sangat
aneh untuk ukuran orang kebanyakan. Dunianya, sepertinya ia hidup dalam
dunianya sendiri, mencoba melawan arus besar. Mungkin itu yang membuatku
tertarik, ia punya pendirian kuat untuk melawan arus. Seperti ikan teri yang
mencoba menyebrangi samudra, melawan ombak, dengan tubuh sekecil itu. apa yang
dipikirkannya, itu yang membuatku penasaran. Ia sering membuatku terkagum oleh
aksinya yang tak terduga. Pernah suatu kali di hari ulang tahunku, ia tiba-tiba
memberikanku pesawat dari kertas, lalu disuruhnya aku untuk memainkannya.
Sebuah kesederhanaan yang mampu membuatku tersenyum saat itu. Entah, kenapa
hanya dengan pemberian itu saja aku merasa spesial di hari ulang tahunku.
Mungkin karena sisi lain dari kebiasaanku yang selalu menerima kado berupa
barang-barang mahal dari keluarga atau mantan-mantan pacarku dulu.
Tapi jangan, aku tak bisa membayangkan
bagaimana menjadi kekasihnya bahkan untuk tinggal serumah dengannya kelak. Ini
merusak eksistensiku, di hadapan keluarga dan teman-temanku. Kalaupun toh
penampilannya jauh lebih bagus, aku tak mungkin bisa membayangkan suatu saat
nanti menjadi istrinya. Keinginan dan kebiasaanku mengikuti trend akan terhalang oleh prinsipnya. Oh
tidak, jangan…”
“Barangkali, sedikit saja kuikuti kehendak
bebas arus besar modernitas. Toh
tak ada salah jika aku berenang melepas penat hidup. Yah, barangkali aku perlu
mencoba untuk belajar berenang di kolam modernitas untuk kemudian aku dengan
bebas bisa menyelam di arus sungai besar
modernitas untuk menangkap ikan. Yah, secuil kenikmatan yang nantinya akan
kudapatkan setelah kuberanikan diri mencebur ke air. Dan, toh tak selamanya aku berenang
setiap waktu, hanya melepas penat saja bukan?”
“Kulihat ia sedikit mengikutiku. Ah,
ternyata dia seperti kebanyakan cowok lain.
Hanya bersemangat dengan gairah imajinasinya. Ah, dia juga plagiat ulung dengan mengikutiku
memandangi bintang-bintang di langit lalu menghitungnya. Semakin terlihat culun
saja itu cowok. Dan kini, aku tahu, ia tak lagi memberiku rasa penasaran akan
dunianya. Dunia yang ia hinggapi kini sungguh sangat jauh dari apa yang kulihat
di awal pertemuanku dengannya dulu. Ia benar-benar kehilangan diri.
Kudengar dari teman-temanku, ia
menyukaiku. Dan karena itu ia rela untuk berusaha keras menceburkan diri ke
dalam air kolam untuk belajar berenang. Dan,
sayang sekali, ia terlalu sok akan kemampuannya. Kurasa dia belum
terlalu mahir saat menceburkan diri ke dalam sungai besar modernitas itu. Jika
kau tanya bagaimana perasaanku? Yah, aku sedih. Aku sedih bukan karena dia
tenggelam. Aku sedih menyesali sikapku sendiri yang tak acuh terhadapnya meski
ku tau aku juga menyukainya. Entahlah, di satu sisi aku juga senang. Yah, aku
tak lagi ragu dan kini semakin mantap bahwa dia memang tidak pantas untuk
bersanding di pelaminan denganku. Aku senang melihat ia tenggelam, terseret
ganas modernitas. Dan aku kini lebih leluasa untuk memilih pria idealku tanpa
harus terbelenggu ikatan perasaan yang diam-diam kurajut untuknya…”
“… Aku benar-benar tak pernah memikirkan
resiko buruk yang akan kuhadapi saat aku mencoba untuk menceburkan diri ke
sungai itu. Yang kulihat saat itu adalah ikan dan kesenangan kecil yang akan
kudapatkan nanti. Aku lupa bahwa
air dalam kolam dengan air dalam sungai besar sangatlah berbeda. Aku terlalu
percaya diri akan kemampuan berenangku yang padahal baru saja bisa, itu pun
hanya di dalam kolam. Dan alhasil, kini baru kusadari betapa cerobohnya diriku.
Aku tenggelam dan terseret arus besar sungai modernitas tanpa bisa memilahnya.
Aku terjebak oleh ulah sok-sok’an ku sendiri. Dan kini, aku terkatung-katung
kebimbangan tanpa mendapatkan satu pun kesenangan, juga ikan yang kuidamkan.
Dari kejauhan, kulihat Delima, gadis pujaanku itu tersenyum simpul melihatku
terhuyung-huyung, meski beberapa kali terkadang kupergoki ia mengusap
airmatanya.”
0 komentar:
Posting Komentar