“Ketika ibumu masih berlarian dengan
mainan, depan rumah ini banyak berderet pepohonan. Mangga, sawo, bahkan perdu
warna-warni. Rindang daunnya itu, seperti geraian rambut bidadari. Hingga kita
bisa lihat, cahaya matahari seperti mengajak bermain. Ia datang dan sembunyi
diantara helaian daun tua dan muda. Sekarang sudah tidak. Entah mengapa. Mungkin
karena negara kita terus mengejar kemajuan Amerika. Kau pasti banyak tahu hal
itu di sekolah. Manusianya pun sudah sesak. Hingga betul, perlu pembangunan di
berbagai bidang. Yang harus mengorbankan keindahan, lebih jahatnya lagi, harus
rela mengorbankan kenangan-kenangan yang terjadi di tempat kejadian. Oh ya, maaf
kebablasan waé. Sana sekolah. Belajar yang benar!”
Dapat dipastikan, setiap pagi, di depan rumahku
ini Kakek duduk di hadapan kopi tanpa gula apalagi duka, roti tanpa selai nanas,
hanya diisi dengan seoles mentega kasih sayang. Ia makan sambil membaca koran.
Kakek memang pembaca koran sejati. Tapi bagiku, ia lebih sebagai juru cerita
yang baik hati. Dari mulutnya selalu mengalir cerita yang berbeda.
Semuanya dirangkai dengan indah. Mungkin karena dulunya ia pujangga. Mungkin
karena itu pula Nenek jatuh cinta. Tapi, cerita seringkali membuat Kakek lupa,
bahwa aku harus pergi ke sekolah. Seperti tadi.
“Tapi hari ini aku tak akan masuk sekolah
Kek. Siang nanti aku akan pergi ke Bogor untuk kompetisi.”
“Oh ya? Kamu ini memang pintar, baik pula.” pujiannya
selalu membuatku tersipu. Ingin balik memuji, tapi apa yang harus kuucapkan
pertama kali? Sementara Kakek kembali menyambar, berbicara.
“Bagaimana kalau kita menanam pohon pagi ini,
Nak?”
Kali ini aku memberanikan diri untuk melawan. Tak
ingin ia mendapat kekecewaan.
“Aduh Kek, kan siang nanti aku berangkat. Takut
lelah.”
“Menanam pohon tak menghabiskan tenaga banyak. Hanya
perlu keikhlasan untuk mengobati lelahnya.”
Harus kucari alasan lain agar hal itu tak
terjadi. Aku tak mau Kakek tahu. Biarlah ia kira masih baik segalanya, masih
baik alam depan rumahnya.
“Tetap saja Kek akan lelah, hehe. Lagipula banyak
hal yang harus aku persiapkan. Bibit pohonnya juga kan belum ada, Kek.”
“Tetangga kita, Pak Dodo, pegawai Kehutanan itu,
punya banyak bibit pohon di halaman rumahnya. Tak apalah jika kita minta barang
satu atau dua pohon. Kamu akan lama di Bogor? Siapa tahu ini pagi terakhir sama
Kakek.”
Kali ini aku tak bisa. Perkataan terakhirnya. Siapa
tahu ini pagi terakhir bersama Kakek. Membuat kuduk takut. Dengan
sendirinya tanganku mulai merangkul Kakek. Membawanya keluar. Melihat kehancuran.
Ya, sebuah kehancuran bagi hatinya yang damai dan
penuh harapan. Tepat malam tadi, ada tamu datang ke rumahku. Katanya dari sebuah
Lembaga Pemerintahan. Mereka datang dengan membawa beberapa bingkisan. Aku
mendengar samar, Ia berkata pada Ayah bahwa besok penggalian akan sampai ke
depan rumahku. Dan meminta izin untuk menggali jalan masuk ke rumahku. Ia
mengeluarkan segala keterangan, tapi Ayah hanya balas dengan senyuman. Tentu,
senyuman satu-satunya jalan untuk melakukan perlawanan. Untungnya Kakek sedang
berada di kamarnya. Diam, entah ngaji, atau melihati foto Nenek yang baginya
kian hari kian menarik, kian cantik.
Penggalian itu. Penggalian oleh manusia hitam
besar. Mesin dengan mata pisau tajam. Dan pipa-pipa besi besar yang ditembuskan
kedalam tanah. Tanah takbisa melawan, hanya pasrah pada keperkasaan para
penggali dengan mesin yang tajam sekali, dan kuatnya pipa besi. Penggalian ini
telah mengundang banyak pembicaraan. Kata teman sekolahku yang rumahnya cukup
jauh dari sekolah, angkutan kota yang membawanya menjadi sering diam, susah
jalan. Karena jalanan semakin menyempit oleh tanah yang berasal dari galian. Ia
sudah berusaha untuk datang tak terlambat. Jika detik jam sudah mendekat untuk
menekan bel di sekolah, ia terpaksa turun dan mulai berlari dari angkot. Dengan
tasnya yang besar karena tugas guru-guru yang terus membludak, mungkin.
Keringat turun ke pangkal kerah kemeja seragamnya. Sepatunya tak menggubris
batuan atau kerikil yang menghalangi. Tapi tetap, meski sudah berlari
sedemikian kuat, ia tetap harus diam terlebih dahulu di gerbang. Karena datang
siang. Katanya, ia berangkat sama dengan jam-jam biasa. Sementara bagi warga
pinggir jalan ini, penggalian itu tentu sedikit banyak merusak rumah mereka.
Pagar-pagar yang telah dipulas sedemikian indah dengan warna yang sudah dikira,
dipikir, agar kian indah nian rupa rumah mereka, rusak sedemikian saja oleh
tanah basah yang semburat dari dalam tanah. Mungkin itulah satu-satunya cara
tanah menangis, mengeluarkan kesakitan mereka. Sehingga sebagian dari mereka
membiarkan rumah mereka rusak sementara. Selain mungkin karena biaya, mereka
membiarkan dengan anggapan setidaknya rumah mereka dapat dijadikan bahu
sandaran, bagi alam yang sedang ketakutan. Kata penggali, pipa ini untuk air
minum masyarakat. Untuk kesejahteraan juga. Tapi mengapa harus mengorbankan
kesejahteraan demi sebuah kesejahteraan baru yang belum tentu kita rasakan? Kata
Kakek sih demikian. Suatu hari, ketika ia bercerita (lagi-lagi) tentang
Amerika. Dan bangsa kita yang tunduk jadi budaknya.
Tamu itu datang malam tadi. Bercerita bahwa penggalian
hari ini akan sampai tepat di depan rumahku. Penggalian yang memakan banyak
pengorbanan. Malam itu Kakek sedang di kamar. Kakek belum tahu. Tapi pagi ini
juga, ia pasti akan tahu. Dan ia sedang bersamaku untuk menanam pohon di depan
rumah yang akan segera dihancurkan.
Mang Dadang, yang biasa membantu di rumah ini
datang dengan membawa dua bibit pohon terompet cantik, dan dua bibit pohon
yoiko. Katanya pohon itu mudah tumbuh membesar, hingga cepat meneduhi
pekarangan atau jalanan. Tapi aku kira, pohon ini tak akan mampu tumbuh di tanah
yang sedang terluka. Tanah yang sedang mereka gali dalam-dalam.
Matahari menguning di rambut kakek yang
putih. Mencahayai wajahnya yang sedang sumringah cerah. Mungkin karena sebentar
lagi ia akan menanam pohon harapan.
“Jika nanti Kakek mati, tolong doakanlah Kakek
selalu ketika kalian melihat pohon itu tumbuh depan rumah kalian. Meneduhi
rumah kalian. Biarkan pohon itu tetap berada di depan sana. Biar Kakek tetap
bisa meneduhi, menyegarkan kehidupan keluarga Kakek sendiri,” ucapnya sambil
memegang parang untuk menanam harapan, sekaligus kenang-kenangan.
“Hus, jangan berbicara seperti itu Kek. Jika
memang waktunya sampai, kita tentu akan merawatnya agar terus tumbuh kebaikan
Kakek di hati kami. Dan tentu doa-doa akan selalu kami larungkan ke sungai
surga tempatmu tinggal kelak. Amiin. Kali ini aku bisa memuji. Mungkin pujian
ini dapat menjadi obat ketika nanti ia terlukai. Kita berjalan pelan dan sudah
mulai sangat dekat dengan pintu pagar. Aku mencoba memperlambat. Apalagi ketika
suara mesin itu mulai meradang. Tapi tangan kakek mulai menyentuh tangkai
pagar. Ia mulai membuka. Aku menggandeng erat tangannya. Dan matanya, kini telah
sampai, melihat segala yang aku takutkan. Penggalian pipa itu, kini tepat berada
dihadapannya.
Raut keningnya yang sumringah, berubah menjadi
raut wajah gelisah. Ia hanya diam. Menantang matahari yang mulai naik dari timur. Menantang para penggali hitam besar. Ia diam. Terlihat sekali tubuhnya
mulai melemah. Ia memegangku erat. Seperti menyampaikan sebuah pesan
isyarat. Isyarat kepedihan dirinya.
Jalanan mulai memadat. Hitam aspal berubah menjadi
warna-warni kendaraan. Merah lebih dominan, warna kendaraan yang mengangkut
banyak siswa hingga berjejal. Asap dari bepuluh pipa knalpot semakin membumbung
ke udara. Suara gemuruh mesin beradu dengan denting linggis yang terus memecah
kokoh batu-batu. Keringat penggali mulai meruap. Beradu kuat dengan keringat
tegang para siswa yang keluar dari sela-sela jendela angkutan kota. Waktu terus
mendetakkan tubuhnya. Tanpa ampun. Jalanan semakin padat dengan berbagai
kendaraan, Terisi sudah tubuh jalan yang kian menyempit ini. Seolah tak mau
dikalahkan waktu. Klakson mulai saling bersahutan. Tapi klakson tak mampu
memperlebar jalan. Motor menyelip setiap kesempatan. Seorang Ibu di seberang
sana berjalan sangat cepat. Dengan dua tas sayuran besar ditangannya. Ada
seorang pemulung menonton bengong. Baginya mungkin ini sebuah hiburan. Dari arah
jalan yang lain mulai masuk truk kuning yang amat gagah. Tapi tak indah.Truk
pengangkut sampah.Ia masuk seolah semuanya dapat menyingkir padanya.
“Inilah Amerikanya Indonesia, Nak.” Pegangannya semakin kuat .Ia berkata sambil
tersenyum sinis. “Lihat..” katanya sambil menunjuk ke arah bawah.
Pasukan penggali ada yang datang lagi. Mereka mengangkut pipa sediameter pohon
jati tua.Menyeruduk kendaraan-kendaraan. Mereka memang yang kini berkuasa di
jalanan. Klakson dan amarah makin mengerang. “Minggirr woyyy!” kata
salah seorang sopir angkot dengan urat lehernya yang kian kuat. Depan mataku
kini sudah berubah pula baunya dari truk pengangkut sampah yang ikut
meramaikan. Waktu di jam tangan menggeliat pegal. Kulihat semakin mendekat ke
pukul tujuh.
“Kasihan teman-temanmu yang berangkat sekolah itu, Nak.” Airmatanya mulai menetes
pelan. Clak. Clak. Clak. Ke pipinya yang sudah berlekuk-lekuk.
Suara klakson. Suara knalpot. Suara teriakkan. Ramai sekali. Sahut menyahut. Seperti
hari kemerdekaan yang baru saja datang. Atau seperti suara pasukan dalam perang
Diponegoro. Kini bertambah lagi, suara yang paling angker di
jalanan. Suara sirine.
“Kek, syukurlah ada polisi yang datang, mungkin akan mengamankan,” kataku
dengan sedikit pengharapan kemacetan akan segera usai.
“Bukan Nak. Lihat ke bawah jalan sana! Itu ambulan!”
Ahoi.. Indah nian pagi ini. Ambulan pun ikut meramaikan. Ia seolah tak mau kalah
hadir dalam karnaval paling sakral ini. Ia mencoba menyeruduk. Tapi tak ada
yang ikhlas mengalah. Semuanya sudah lelah dalam kepadatan yang edan. Jarum seperti
berputar kian cepat. Hingga ia menyerah pada pukul tujuh. Siswa turun dari
angkutan. Seperti geromboloan semut yang akan memburu gula-gula. Mereka
berlari. Mulai menyusuri sela-sela kekosongan diantara kendaraan ke tengah
jalan. Berdesakkan di trotoar. Mereka berteriak “cepaat..cepaat..”. Kendaraan
semakin mengerang. Mengeluarkan bau tubuh hitam ke udara. Seperti sudah akan
bertemu ajalnya. Sampah dari truk itu tumpah ke jalan. Menimpa sebuah
motor. Terjadi ketegangan disana. Diamarahinya sopir truk, dan dipungkas dengan
pukulan pada bagian pipi. Sopir tak melawan.
Dentuman dari penggalian terus menggila. Batu-batu
kian kokoh. Tanah mulai melakukan perlawanan. Sirine Ambulan yang tadinya
melengking merambat ke awan, ke langit, kini mulai memadam. Ambulan itu menurunkan
pasiennya, dibawa dengan tandu. Beberapa orang terlihat menggotong dan mulai
berlari ke jalanan yang agak lengang. Ia berlari diantara derap kaki para siswa
yang takut terlambat datang. Diantara Ibu-ibu yang akan pergi ke pasar.
Diantara kendaraan yang sudah kian memucat .Tandu itu terus diusung. Melewati
mataku. Ia nenek-nenek yang terisak. Dadanya seperti sangat sesak. Airmatanya
mulai meleleh. Beberapa orang dibelakangnya, yang tadi mengikutinya, berhenti
depan rumahku. Depan para penggal makian telah dilemparkan sekian kali. Tapi tak
digubris pria-pria bertubuh besar itu. Mereka terus menggali. Mungkin
mereka tak mengerti. Mereka hanya mengerjakan perintah pimpinan. Tapi kesabaran
sudah terlahap amarah. Dipukulinya para penggali itu oleh mereka, sopir truk yang
tadi dipukul ikut turun, ingin membalas sakit, ikut memukuli. Sebagian pengendara motor. Sebagian siswa yang geram. Penggali dipukuli
warga! Ibu-ibu melemparkan sayurannya. Sementara dari bawah sana datang
penggali lain membela. Mereka mengacung-ngacungkan linggis. Orang gila di
seberang sana girang. Pertunjukkan semakin ramai. Jalanan berubah menjadi medan
pertarungan.
“Aku mencintai negeri ini, Nak.” Kakek
berkata. Airmatanya sudah melimpah ruah. Tubuhnya rubuh. Ia terisak. Dadanya mulai
sesak, yang aku takutkan datang. Kakek jatuh sakit.
0 komentar:
Posting Komentar