Minggu, 06 Juli 2014

Tugas Bahasa Indonesia

PERJUANGAN



Langit mulai meredup, awan mulai bergerak ke arah barat disertai warna orange yang menghiasi cakrawala, angin sore yang sejuk mengaburkan ingatanku ke arah yang tak menentu. Ingatan akan semua kenangan yang telah aku rajut, aku bangun dengan seseorang. Dan kenangan itu menjadi salah satu menu makan yang tak akan mungkin kulewatkan.
Lama, lama ku menunggu kedatangan kereta yang akan menjemputku. Menjemputku untuk kembali ke bangku kemahasiswaan, ingin sekali aku berkonsentrasi kembali ke kuliah yang sedikit berantakan, merapikan kembali sisa pelajaran, dan mendapatkan nilai yang kuharapkan. Meski kuliah kadang berantakan, tapi Tuhan masih sayang denganku, Tuhan masih memberikan nilai yang sangat pantas untuk disyukuri. Mungkin Tuhan memilik banyak pertimbangan, pertimbangan atas lelah dan perjuanganku untuk melakukan sesuatu, sesuatu yang jauh dari kata pendidikan, sesuatu yang aku perjuangkan selain pendidikanku sendiri.
Entah mengapa waktu berjalan sangat lama, hingga aku melamun sendiri, mengambang diatas lamunanku yang abstrak. Melamun tentang apa yang sudah aku perbuat. Aku menyadari bahwa apa yang sudah aku perbuat ini sebagian besar bertentangan dengan persepsi orang orang, tapi, persepsi dan keinginanku memperjuangkan hal itu sangatlah mengakar, dan itu yang membuat aku bertahan.
Cinta, memang itulah yang sedang aku lamunkan. Sesuatu yang membuat aku bisa berpikir di luar batas imajinasiku. Imajinasi yang tak akan ada habisnya. Sesuatu yang membuat aku bisa berusaha di atas kemampuanku. Berusaha melakukan yang terbaik untuk orang yang tercinta, meski halangan dan rintangan apapun yang menghadang, demi orang orang yang aku sayangi, dan itu terjadi berulang kali.
Seperti yang telah kulakukan beberapa hari yang lalu, meninggalkan bangku pendidikanku demi seseorang yang jauh disana. Setidaknya, aku ada disaat momen momen spesialnya, meski itu hanya beberapa jam, atau hari. Mungkin, hal hal kecil itulah yang membuatku dan dirinya bertahan hingga sejauh ini. Rela menahan rindu demi momen momen kecil yang sangat berharga.
Tidak ada yang berjalan mudah dalam hubungan jarak jauh. Pertengkaran, gossip, kabar tidak sedap terkadang menjadi batu loncatan. Hal hal sepele memang sering menimbulkan pertengkaran hebat yang tidak berujung, hingga salah satu harus mengalah, melupakan ego, demi hubungan yang terus berjalan. Bahkan, bertemu pun harus dilakukan jika masalah tak kunjung usai, menempuh jarak hingga ratusan kilometer, merogoh kocek yang cukup dalam, hanya untuk bertemu, bertatap muka.

Capek, iya, lelah, pasti, dan itu sudah aku rasakan berulang-ulang. Hingga sempat timbul penyesalan terasa sakit sekali di dada. Korban waktu, korban tenaga, korban pikiran, korban kuliah semuanya menumpuk. Perasaan bersalah kepada teman dan orang tua juga menghantui pikiranku sesaat. Benarkah ini perjuangan dalam hubungan jarak jauh ? Aku tak merasakan hadirmu secara nyata di sisiku, tapi aku percaya.
Entah apa yang menguatkanku, menyemangatiku untuk terus berusaha, dan berjuang demi cinta yang belum tentu pasti menjadi masa depanku. Sebuah ungkapan, “segala sesuatu yang didasari atas cinta, tidak terasa berat”, mungkin menjadi motivasiku dalam menjalani hubungan ini. Aku selalu berdoa kepada Tuhan untuk selalu memberi yang terbaik, memberi kelancaran dan kemudahan di segala urusan, semua yang terbaik telah kulakukan. Realita berbicara lebih banyak, sementara aku dilarang untuk bermimpi terlalu jauh.
“Teeeeeeeeeeeeeeeeeeeeeeeettttttt toeeeeeeeeeetttttttt“. Suara kereta berbunyi dan membuyarkan lamunanku. Terlalu jauh, tapi itulah yang kurasakan. Aku percaya bahwa tidak ada yang menggantikan usaha dan kerja keras. Sedikit waktu mungkin sudah cukup untuk menentukan pilihan, tapi untuk bertahan pada pilihan tersebut, mungkin bisa menghabiskan sisa usia yang dimiliki. Dan akhirnya ya memang akhirnya, pintu gerbong kereta telah dibukakan untuk menjemputku.  

Jumat, 04 Juli 2014

Tugas Bahasa Indonesia

DELIMA

“Tidak, terlalu rumit membayangkan seperti apa bersanding di pelaminan, dengan pandangan mata yang saling bertolak satu sama lain. Dunianya, adalah berjuta bintang mengerlip indah, di sana, di angkasa, yang tak kan pernah ia capai. Mereka menawarkan mimpi-mimpi, hingga tiap malam ia rela menyempatkan waktu sejenak, menghitung cahaya gemerlap bintang, berharap suatu saat ia dapat peluk, pun satu saja. Dunianya, adalah dunia orang modern kebanyakan, berbelanja, mengikuti trend, nonton film, jalan-jalan, dan kesenangan-kesenangan lainnya. Dunianya, adalah kesibukan melototi layar ponsel tiap menitnya. Yah, dunianya adalah dunia orang-orang kebanyakan, dunia wajar manusia modern. Dunia Delima, gadis berdarah Jawa-Spanyol yang kusayangi, adalah dunia yang diimpikan kebanyakan orang masa kini.

Aku Robert, aku menganggap dunia Delima adalah dunia yang diluar jangkauan anganku. Bagiku, dunia seperti itu hanya menawarkan mimpi imajiner, seperti yang ditawarkan para bintang pada Delima. Aku menganggap, entah kenapa, dunia modernitas membuat banyak terbuai mimpi-mimpi kesejahteraan. Yang demi mimpi itu, banyak orang rela mengorbankan apapun, termasuk mungkin, harkat-martabat sebagai “manusia”. Jalan pintas dianggap pantas demi tercapainya tujuan, instan adalah keseharian modernitas, agar lebih efektif-efisien, katanya. Idealku, selalu memandang bahwa orang-orang yang terlarut buai modernitas adalah orang-orang yang tertidur dalam keindahan mimpi. Meski kenyataan, aku sendiri seringkali mempunyai hasrat yang cukup besar untuk juga memiliki dunia seperti itu. Dan kenyataan pula, aku hidup dalam keglamoran modernitas, mobil mewah, gadget, smart phone, laptop, adalah keseharianku juga. Lantas, siapa yang sedang bermimpi?
Yah, engkau bisa jawab akulah orang yang sedang bermimpi dalam dunianya sendiri, Dunia Utopis. Tapi aku sebenarnya sangat ingin mengungkapkan mengapa aku seperti demikian? Tapi aku ragu, adakah engkau mau mendengarku.”
Aku Delima, senang sekali bisa belanja bareng mama. Kalau sama mama, pasti keturutan semua yang ku ingin, dengan sedikit rayuan tentunya. Hari ini aku bawa belanjaan banyak sekali. Dan yang kuidam-idamkan bulan lalu, kini sudah tercapai, tablet i-phone keluaran terbaru. Sebenarnya sudah punya tablet di rumah, tapi kemarin belinya yang murahan: merk lokal, malu kalau dibawa ke kampus. Selain tablet, beberapa stel baju juga kuborong, mumpung lagi diskon besar-besaran. Hehe, mama sendiri juga belanja banyak banget, mentang-mentang baru gajian.
Ini hidupku, mungkin engkau menganggap aku orang yang boros sekali. Tapi bagiku tidak, inilah hidup. Siapa bilang aku boros, aku menyisihkan uang sakuku tiap harinya untuk kutabung. Dengan begitu aku mencukupi hasratku. Sebenarnya barang-barang yang kubeli tidak terlalu kubutuhkan, tapi hanya dengan itu eksistensiku diakui. Ah, siapa yang tidak ingin memiliki barang-barang seperti itu, di masa kini. Kita hidup di masa ini, bukan masa lalu. Aku heran melihat orang-orang yang sok gak mau nonton film, belanja ke mall atau lambang-lambang modernitas lainnya, padahal tiap harinya mereka menggunakan barang-barang hasil inovasi modernitarian.
Tapi, entah kenapa, aku tertarik dengan seorang cowok di kelasku yang dandanannya kacau sekali. Ia terlihat norak, kurang pergaulan, culun, pokoknya dia sangat aneh untuk ukuran orang kebanyakan. Dunianya, sepertinya ia hidup dalam dunianya sendiri, mencoba melawan arus besar. Mungkin itu yang membuatku tertarik, ia punya pendirian kuat untuk melawan arus. Seperti ikan teri yang mencoba menyebrangi samudra, melawan ombak, dengan tubuh sekecil itu. apa yang dipikirkannya, itu yang membuatku penasaran. Ia sering membuatku terkagum oleh aksinya yang tak terduga. Pernah suatu kali di hari ulang tahunku, ia tiba-tiba memberikanku pesawat dari kertas, lalu disuruhnya aku untuk memainkannya. Sebuah kesederhanaan yang mampu membuatku tersenyum saat itu. Entah, kenapa hanya dengan pemberian itu saja aku merasa spesial di hari ulang tahunku. Mungkin karena sisi lain dari kebiasaanku yang selalu menerima kado berupa barang-barang mahal dari keluarga atau mantan-mantan pacarku dulu.
Tapi jangan, aku tak bisa membayangkan bagaimana menjadi kekasihnya bahkan untuk tinggal serumah dengannya kelak. Ini merusak eksistensiku, di hadapan keluarga dan teman-temanku. Kalaupun toh penampilannya jauh lebih bagus, aku tak mungkin bisa membayangkan suatu saat nanti menjadi istrinya. Keinginan dan kebiasaanku mengikuti trend akan terhalang oleh prinsipnya. Oh tidak, jangan…”
“Barangkali, sedikit saja kuikuti kehendak bebas arus besar modernitas. Toh tak ada salah jika aku berenang melepas penat hidup. Yah, barangkali aku perlu mencoba untuk belajar berenang di kolam modernitas untuk kemudian aku dengan bebas bisa menyelam di arus sungai besar modernitas untuk menangkap ikan. Yah, secuil kenikmatan yang nantinya akan kudapatkan setelah kuberanikan diri mencebur ke air. Dan, toh tak selamanya aku berenang setiap waktu, hanya melepas penat saja bukan?”
“Kulihat ia sedikit mengikutiku. Ah, ternyata dia seperti kebanyakan cowok lain. Hanya bersemangat dengan gairah imajinasinya. Ah, dia juga plagiat ulung dengan mengikutiku memandangi bintang-bintang di langit lalu menghitungnya. Semakin terlihat culun saja itu cowok. Dan kini, aku tahu, ia tak lagi memberiku rasa penasaran akan dunianya. Dunia yang ia hinggapi kini sungguh sangat jauh dari apa yang kulihat di awal pertemuanku dengannya dulu. Ia benar-benar kehilangan diri.
Kudengar dari teman-temanku, ia menyukaiku. Dan karena itu ia rela untuk berusaha keras menceburkan diri ke dalam air kolam untuk belajar berenang. Dan, sayang sekali, ia terlalu sok akan kemampuannya. Kurasa dia belum terlalu mahir saat menceburkan diri ke dalam sungai besar modernitas itu. Jika kau tanya bagaimana perasaanku? Yah, aku sedih. Aku sedih bukan karena dia tenggelam. Aku sedih menyesali sikapku sendiri yang tak acuh terhadapnya meski ku tau aku juga menyukainya. Entahlah, di satu sisi aku juga senang. Yah, aku tak lagi ragu dan kini semakin mantap bahwa dia memang tidak pantas untuk bersanding di pelaminan denganku. Aku senang melihat ia tenggelam, terseret ganas modernitas. Dan aku kini lebih leluasa untuk memilih pria idealku tanpa harus terbelenggu ikatan perasaan yang diam-diam kurajut untuknya…”
“… Aku benar-benar tak pernah memikirkan resiko buruk yang akan kuhadapi saat aku mencoba untuk menceburkan diri ke sungai itu. Yang kulihat saat itu adalah ikan dan kesenangan kecil yang akan kudapatkan nanti. Aku lupa bahwa air dalam kolam dengan air dalam sungai besar sangatlah berbeda. Aku terlalu percaya diri akan kemampuan berenangku yang padahal baru saja bisa, itu pun hanya di dalam kolam. Dan alhasil, kini baru kusadari betapa cerobohnya diriku. Aku tenggelam dan terseret arus besar sungai modernitas tanpa bisa memilahnya. Aku terjebak oleh ulah sok-sok’an ku sendiri. Dan kini, aku terkatung-katung kebimbangan tanpa mendapatkan satu pun kesenangan, juga ikan yang kuidamkan. Dari kejauhan, kulihat Delima, gadis pujaanku itu tersenyum simpul melihatku terhuyung-huyung, meski beberapa kali terkadang kupergoki ia mengusap airmatanya.”
 

Minggu, 22 Juni 2014

Tugas Bahasa Indonesia



ADA APA DENGAN APA ADANYA ?


Bersabar tidak hanya dalam kesempitan,tetapi juga dalam kelapangan. 

Sungguh bahagia, bila setiap manusia saling berlomba 

melayani, membantu, menghormati,dan membahagiakan saudaranya.

Jangan pernah menyuruh orang lain sebelum menyuruh diri sendiri, 

jangan pernah melarang orang lain 

sebelum melarang diri sendiri. 

Waspadalah jika ibadah sudah mulai malas, dan hal yang buruk mulai dilakukan.

Karena itu 

Pertanda mulai goyah dalam kepercayaan.

Jadilah manusia yang merdeka yang berani tampil apa adanya. 

Orang yang sibuk membangun topeng, 

akan selalu di jajah oleh topengnya sendiri

Orang yang membangun diri pribadi 

Tak gentar kehilangan topeng.

Semakin banyak keinginanduniawi,

semakin mencuri pikiran, waktu, tenaga, dan kebahagiaankita, 

padahal kebahagiaan dan kecukupan,

adalah milik orang yang bersyukur.

Tugas Bahasa Indonesia



Bahasa Hati.

Ia berbicara dengan bahasa hati. 

Hinggajatuh air jernih

Mengalir membasahi pipi.. ... 

Bahasa intonasinya 

Sungguh menusuk jantung ini.. 

Tak kasar lembut saja,

namun penuh maksud ketegasan dalam bait madahnya

Orang tak tahu cara penuh tersendiri

tapi aku tahu

Itulah caranya tersendiri..

Rabu, 11 Juni 2014

Tugas Bahasa Indonesia

SERAGAM

Lelaki jangkung berwajah terang yang membukakan pintu terlihat takjub begitu mengenali saya. Pastinya dia sama sekali tidak menyangka akan kedatangan saya yang tiba-tiba.
Ketika kemudian dengan keramahan yang tidak dibuat-buat, saya dipersilahkan untuk masuk, tanpa ragu-ragu saya memilih langsung menuju amben di seberang ruangan. Nikmat rasanya duduk di atas balai-balai bambu beralas tikar pandan itu. Dia pun turut duduk, tapi pandangannya justru diarahkan ke luar jendela, pada pohon-pohon cengkeh yang berderet seperti barisan murid kelas kami dahulu saat mengikuti upacara bendera tiap Senin. Saya paham, kejutan ini pastilah membuat hatinya diliputi keharuan yang tidak bisa diungkapkannya dengan kata-kata. Dia butuh untuk menetralisirnya sebentar.
Dia adalah sahabat masa kecil terbaik saya. Hampir 20 tahun lalu kami berpisah karena keluarga saya harus boyongan ke kota tempat kerja Ayah yang baru di luar pulau hingga kembali beberapa tahun kemudian untuk menetap di kota kabupaten. Itu saya ceritakan padanya, sekaligus mengucapkan maaf karena sama sekali belum pernah menyambanginya sejak itu.
”Jadi, apa yang membawamu kemari?”
”Kenangan.”
”Palsu! Kalau ini hanya soal kenangan, tidak perlu menunggu 12 tahun setelah keluargamu kembali dan menetap 25 kilometer saja dari sini.”
Saya tersenyum. Hanya sebentar kecanggungan di antara kami sebelum kata-kata obrolan meluncur seperti peluru-peluru yang berebutan keluar dari senapan.
Bertemu dengannya, mau tidak mau mengingatkan kembali pada pengalaman kami dahulu. Pengalaman yang menjadikan dia, walau tidak setiap waktu, selalu lekat di ingatan saya. Tentu dia mengingatnya pula, bahkan saya yakin rasa yang diidapnya lebih besar efeknya. Karena sebagai seorang sahabat, dia jelas jauh lebih tulus dan setia daripada saya.
Malam itu saya berada di sini, memperhatikannya belajar. Teplok yang menjadi penerang ruangan diletakkan di atas meja, hampir mendekat sama sekali dengan wajahnya jika dia menunduk untuk menulis. Di atas amben, ayahnya santai merokok. Sesekali menyalakan pemantik jika bara rokok lintingannya soak bertemu potongan besar cengkeh atau kemenyan yang tidak lembut diirisnya. Ibunya, seorang perempuan yang banyak tertawa, berada di sudut sembari bekerja memilin sabut-sabut kelapa menjadi tambang. Saat-saat seperti itu ditambah percakapan-percakapan apa saja yang mungkin berlaku di antara kami hampir setiap malam saya nikmati. Itu yang membuat perasaan saya semakin dekat dengan kesahajaan hidup keluarganya.
Selesai belajar, dia menyuruh saya pulang karena hendak pergi mencari jangkrik. Saya langsung menyatakan ingin ikut, tapi dia keberatan. Ayah dan ibunya pun melarang. Sering memang saya mendengar anak-anak beramai- ramai berangkat ke sawah selepas isya untuk mencari jangkrik. Jangkrik-jangkrik yang diperoleh nantinya dapat dijual atau hanya sebagai koleksi, ditempatkan di sebuah kotak, lalu sesekali digelitik dengan lidi atau sehelai ijuk agar berderik lantang. Dari apa yang saya dengar itu, proses mencarinya sangat mengasyikkan. Sayang, Ayah tidak pernah membolehkan saya. Tapi malam itu toh saya nekat dan sahabat saya itu akhirnya tidak kuasa menolak.
”Tidak ganti baju?” tanya saya heran begitu dia langsung memimpin untuk berangkat. Itu hari Jumat. Seragam coklat Pramuka yang dikenakannya sejak pagi masih akan terpakai untuk bersekolah sehari lagi. Saya tahu, dia memang tidak memiliki banyak pakaian hingga seragam sekolah biasa dipakai kapan saja. Tapi memakainya untuk pergi ke sawah mencari jangkrik, rasanya sangat-sangat tidak elok.
”Tanggung,” jawabnya.
Sambil menggerutu tidak senang, saya mengambil alih obor dari tangannya. Kami lalu berjalan sepanjang galengan besar di areal persawahan beberapa puluh meter setelah melewati kebun dan kolam gurami di belakang rumahnya. Di kejauhan, terlihat beberapa titik cahaya obor milik para pencari jangkrik selain kami. Rasa hati jadi tenang. Musim kemarau, tanah persawahan yang pecah-pecah, gelap yang nyata ditambah angin bersiuran di areal terbuka memang memberikan sensasi aneh. Saya merasa tidak akan berani berada di sana sendirian.
Kami turun menyusuri petak-petak sawah hingga jauh ke barat. Hanya dalam beberapa menit, dua ekor jangkrik telah didapat dan dimasukkan ke dalam bumbung yang terikat tali rafia di pinggang sahabat saya itu. Saya mengikuti dengan antusias, tapi sendal jepit menyulitkan saya karena tanah kering membuatnya berkali-kali terlepas, tersangkut, atau bahkan terjepit masuk di antara retakan-retakannya. Tunggak batang-batang padi yang tersisa pun bisa menelusup dan menyakiti telapak kaki. Tapi melihat dia tenang-tenang saja walaupun tak memakai alas kaki, saya tak mengeluh karena gengsi.
Rasanya belum terlalu lama kami berada di sana dan bumbung baru terisi beberapa ekor jangkrik ketika tiba-tiba angin berubah perangai. Lidah api bergoyang menjilat wajah saya yang tengah merunduk. Kaget, pantat obor itu justru saya angkat tinggi-tinggi sehingga minyak mendorong sumbunya terlepas. Api dengan cepat berpindah membakar punggung saya!
”Berguling! Berguling!” terdengar teriakannya sembari melepaskan seragam coklatnya untuk dipakai menyabet punggung saya. Saya terjerembab dalam kepanikan. Tidak saya rasakan kerasnya tanah persawahan atau tunggak-tunggak batang padi yang menusuk-nusuk tubuh dan wajah saat bergulingan. Pikiran saya hanya terfokus pada api dan tak sempat untuk berpikir bahwa saat itu saya akan bisa mendapat luka yang lebih banyak karena gerakan itu. Sulit dilukiskan rasa takut yang saya rasakan. Malam yang saya pikir akan menyenangkan justru berubah menjadi teror yang mencekam!
Ketika akhirnya api padam, saya rasakan pedih yang luar biasa menjalar dari punggung hingga ke leher. Baju yang saya kenakan habis sepertiganya, sementara sebagian kainnya yang gosong menyatu dengan kulit. Sahabat saya itu tanggap melingkupi tubuh saya dengan seragam coklatnya melihat saya mulai menangis dan menggigil antara kesakitan dan kedinginan. Lalu dengan suara bergetar, dia mencoba membuat isyarat dengan mulutnya. Sayang, tidak ada seorang pun yang mendekat dan dia sendiri kemudian mengakui bahwa kami telah terlalu jauh berjalan. Sadar saya membutuhkan pertolongan secepatnya, dia menggendong saya di atas punggungnya lalu berlari sembari membujuk-bujuk saya untuk tetap tenang. Napasnya memburu kelelahan, tapi rasa tanggung jawab yang besar seperti memberinya kekuatan berlipat. Sayang, sesampai di rumah bukan lain yang didapatnya kecuali caci maki Ayah dan Ibu. Pipinya sempat pula kena tampar Ayah yang murka.
Saya langsung dilarikan ke puskesmas kecamatan. Seragam coklat Pramuka yang melingkupi tubuh saya disingkirkan entah ke mana oleh mantri. Tidak pernah terlintas di pikiran saya untuk meminta kepada Ayah agar menggantinya setelah itu. Dari yang saya dengar selama hampir sebulan tidak masuk sekolah, beberapa kali dia terpaksa membolos di hari Jumat dan Sabtu karena belum mampu membeli gantinya.
”Salahmu sendiri, tidak minta ganti,” kata saya selesai kami mengingat kejadian itu.
”Mengajakmu saja sudah sebuah kesalahan. Aku takut ayahmu bertambah marah nantinya. Ayahku tidak mau mempermasalahkan tamparan ayahmu, apalagi seragam itu. Dia lebih memilih membelikan yang baru walaupun harus menunggu beberapa minggu.”
Kami tertawa. Tertawa dan tertawa seakan-akan seluruh rentetan kejadian yang akhirnya menjadi pengingat abadi persahabatan kami itu bukanlah sebuah kejadian meloloskan diri dari maut karena waktu telah menghapus semua kengeriannya.
Dia lalu mengajak saya ke halaman belakang di mana kami pernah bersama-sama membuat kolam gurami. Kolam itu sudah tiada, diuruk sejak lama berganti menjadi sebuah gudang tempatnya kini berkreasi membuat kerajinan dari bambu. Hasil dari tangan terampilnya itu ditambah pembagian keuntungan sawah garapan milik orang lainlah yang menghidupi istri dan dua anaknya hingga kini.
Ayah dan ibunya sudah meninggal, tapi sebuah masalah berat kini menjeratnya. Dia bercerita, sertifikat rumah dan tanah peninggalan orangtua justru tergadaikan.
”Kakakku itu, masih sama sifatnya seperti kau mengenalnya dulu. Hanya kini, semakin tua dia semakin tidak tahu diri.”
”Ulahnya?” Dia mengangguk.
”Kau tahu, rumah dan tanah yang tidak seberapa luas ini adalah milik kami paling berharga. Tapi aku tidak kuasa untuk menolak kemauannya mencari pinjaman modal usaha dengan mengagunkan semuanya. Aku percaya padanya, peduli padanya. Tapi, dia tidak memiliki rasa yang sama terhadapku. Dia mengkhianati kepercayaanku. Usahanya kandas dan kini beban berat ada di pundakku.” Terbayang sosok kakaknya dahulu, seorang remaja putus sekolah yang selalu menyusahkan orangtua dengan kenakalan-kenakalannya. Kini setelah beranjak tua, masih pula dia menyusahkan adik satu-satunya.
”Kami akan bertahan,” katanya tersenyum saat melepas saya setelah hari beranjak sore. Ada kesungguhan dalam suaranya.
Sepanjang perjalanan pulang, pikiran saya tidak pernah lepas dari sahabat saya yang baik itu. Saya malu. Sebagai sahabat, saya merasa belum pernah berbuat baik padanya. Tidak pula yakin akan mampu melakukan seperti yang dilakukannya untuk menolong saya di malam itu. Dia telah membuktikan bahwa keberanian dan rasa tanggung jawab yang besar bisa timbul dari sebuah persahabatan yang tulus.

Mata saya kemudian melirik seragam dinas yang tersampir di sandaran jok belakang. Sebagai jaksa yang baru saja menangani satu kasus perdata, seragam itu belum bisa membuat saya bangga. Nilainya jelas jauh lebih kecil dibanding nilai persahabatan yang saya dapatkan dari sebuah seragam coklat Pramuka. Tapi dia tidak tahu, dengan seragam dinas itu, sayalah yang akan mengeksekusi pengosongan tanah dan rumahnya.