DOSA TERINDAH
Aku
mengenalnya di suatu pelatihan beberapa tahun silam, awalnya aku sudah
tertarik, entah apa yang aku pikirkan, seakan aku tidak menyadari statusku saat
aku bertemu dengannya, ia membalas sama denganku, hari demi hari kami lalui
bersama, kembali seakan-akan kami masih anak sekolahan yang duduk di bangku
SMA, kami menghabiskan waktu dengan bercanda, tertawa saling ejek
dan bahkan hal yang tidak pernah kami sadari berapa usia kami saat itu, saat
ini usia kami sudah berkepala tiga, terkadang ada waktu dimana kami libur
pelatihan satu hari, kami menyempatkan nonton bioskop dan jalan-jalan ke pusat
kota, tawa canda sama persis anak SMA yang sedang pacaran, indah sekali.
Di
ujung pelatihan itu, kami berkumpul sekedar membuat acara kecil sebagai
perpisahan, semua bahagia, tertawa, berjoget, dah bahkan di antara mereka
saling bercerita tentang kesan mereka selama 3 minggu bersama.
Rafa,
namanya seperti anak kecil, karena matanya yang bulat, aku punya julukan
sendiri “sapi” hahahahaha, aku begitu suka memanggilnya begitu, bahkan
teman-teman ku pun tak lepas memanggilnya begitu, seakan tak mau kalah, ia
memanggilku “penyu” entah dasar apa ia memanggilku dengan embeem,
“Mbeem ikut aku yuk” ia
menarik tangan ku, dan kami berlalu dari kerumunan teman-teman kami, ia
mengajak ku ke lantai atas gedung tempat kami menginap
“Ngapain?”
“Pengen ngabisin malam ini sama kamu” aku terkejut bukan kepalang ia berkata begitu “Hahahaha… jangan jorok ya” spontannya membuat aku malu akan pikiran jelekku. “habisnya kata-katamu” jawabku tertawa geli. ia menarikku ke sebuah bangku
“Ngapain?”
“Pengen ngabisin malam ini sama kamu” aku terkejut bukan kepalang ia berkata begitu “Hahahaha… jangan jorok ya” spontannya membuat aku malu akan pikiran jelekku. “habisnya kata-katamu” jawabku tertawa geli. ia menarikku ke sebuah bangku
“Mbeem, cepet banget
ya, kaya baru kemarin
kita ketemu”
“Memangnya kenapa?!” jawabku
“Memangnya kenapa?!” jawabku
“Rasanya aku enggak
pengen balik, masih pengen sama temen-temen, terutama kamu”
“Ya jelaslah.. aku kan orang paling ngangenin” jawabku sedikit membanggakan. dia tertawa, kemudian menarik hidung ku yang sedikit pesek,
“Ya jelaslah.. aku kan orang paling ngangenin” jawabku sedikit membanggakan. dia tertawa, kemudian menarik hidung ku yang sedikit pesek,
“Aku baru tau… ternyata
kota kecil tempat kita,
nyimpen orang yang paling gemesin”
“Siapa?” tanyaku penuh
harap
“Tutik” Tutik teman
kita satu-satunya kelompok kita yang masih berstatus lajang
“Hahahahaha aku pikir kamu bilang aku” dia berhenti terseyum, ia menatapku
“Ya pastinya kamu lah mbeem”
“Hahahahaha aku pikir kamu bilang aku” dia berhenti terseyum, ia menatapku
“Ya pastinya kamu lah mbeem”
“Masa? tadi bilang
tutik, ayo jangan-jangan kamu naksir dia?!”
“Dosa enggak ya? kalau
aku suka sama kamu?”
Aku
terdiam mendengar kata-kata yang baru saja terlontar dari mulut Rafa
aku mencoba mengatur perasaan yang bergejolak dalam diriku, jujur aku sangat menikmati kebersamaan ku bersama Rafa, tetapi di kehidupan ku sebenarnya ada suami serta anak yang sangat mencintaiku. Tino perlahan menatapku, ia berdiri tepat di hadapanku, mulai menggenggam tanganku, dan aku tak sedikitpun menolaknya
aku mencoba mengatur perasaan yang bergejolak dalam diriku, jujur aku sangat menikmati kebersamaan ku bersama Rafa, tetapi di kehidupan ku sebenarnya ada suami serta anak yang sangat mencintaiku. Tino perlahan menatapku, ia berdiri tepat di hadapanku, mulai menggenggam tanganku, dan aku tak sedikitpun menolaknya
“Maafkan
aku ya, aku tidak bisa menyembunyikan perasaan ku, aku sayang sama
kamu”
Aku masih berdiri dalam diamku
Aku masih berdiri dalam diamku
“Suamimu
pasti sangat mencintaimu, dan aku tau betapa kamu sangat berharga untuknya”
ucapnya
“Aku tau… dan kamu tidak perlu membalas rasa sayangku ke kamu, kebersamaan kita selama ini, sudah cukup untuk aku merasakan kebahagian yang ku cari, kamu tidak hanya membuatku tersenyum, tapi.. aku juga merasakan aku yang sebenarnya bila sama kamu, aku hanya menyesalakan, kenapa kita harus bertemu disaat ikatan telah mengekang kita, mbeem… masihkah kamu akan menghubungi ku setelah berakhirnya semua ini?”
“Aku tau… dan kamu tidak perlu membalas rasa sayangku ke kamu, kebersamaan kita selama ini, sudah cukup untuk aku merasakan kebahagian yang ku cari, kamu tidak hanya membuatku tersenyum, tapi.. aku juga merasakan aku yang sebenarnya bila sama kamu, aku hanya menyesalakan, kenapa kita harus bertemu disaat ikatan telah mengekang kita, mbeem… masihkah kamu akan menghubungi ku setelah berakhirnya semua ini?”
Aku
masih terpaku dalam kegelisahan ku
“Rafa,
aku sangat bahagia dengan suamiku, dia adalah pria yang tidak pernah menyakiti
ku sampai detik ini, dia tidak merubah apapun tentangku selama ini, tapi.. aku
juga tidak bisa memungkiri perasaan ku terhadapmu, selama 3 minggu ini, aku
bisa melupakan kebahagian bersama suamiku, aku menemukan sesuatu yang lain yang
belum pernah kurasakan selama ini, tapi… aku tidak bisa menyakiti suami dan
juga istrimu, karena aku juga belum yakin, kau kelak akan membahagiakan ku seperti
suami ku membahagiakanku, dan aku juga tak bisa menjanjikan kebahagiaan seperti
istrimu, biarlah ini cerita terindah dalam diri kita, simpanlah aku sebagai
kenangan indah untukmu”
Tino
menatapku dalam, perlahan ia mendekatiku, ia merengkuh jemariku, membelai
wajahku, ia tersenyum, membuat aku ingin menghentikan waktu saat itu, ia
mencium bibirku, ciuman yang hangat bukan ciuman nafsu, ia terus mendekapkan
daun bibirnya di tepi daun bibirku, kami berpelukan, ia mendekapku erat. aku
mulai hanyut dalam perasaanya,
“Rafa,
maaf, ini kesalahan
besar, jangan diteruskan”
Aku
menghindarinya, aku sedikit mundur beberapa langkah dari hadapannya. namun
langkahku terhenti oleh rengkuhan tangannya
“Mbeem…
maafkan aku”
Aku
menghentikan langkahku dan membangkitkan keberanian ku untuk menatapnya
“Rafa,
aku cinta sama
kamu, tapi aku bisa menodai kebahagiaan keluargaku, aku mengerti, aku pun
sangat mencintaimu, dan aku tak ingin kamu terluka oleh cintaku, biarlah kita
kembali seperti awal. Terima kasih tino, terima kasih atas semuanya, atas
kenangan yang tak terbatas ini, atas rasa yang tak tercipta ini, aku minta satu
hal, tetaplah menjadi tino yang aku kenal saat ini, kapanpun kita ditakdirkan
bertemu kembali, tetaplah menjadi Rafa, pendamlah rasa ini, biarlah ia akan mati
dengan sendirinya”.
Tino
tersenyum kembali, ia menggapai tangan ku, dan mengajakku kembali ke tempat
teman-teman berkumpul.
0 komentar:
Posting Komentar