Minggu, 22 Juni 2014

Tugas Bahasa Indonesia



ADA APA DENGAN APA ADANYA ?


Bersabar tidak hanya dalam kesempitan,tetapi juga dalam kelapangan. 

Sungguh bahagia, bila setiap manusia saling berlomba 

melayani, membantu, menghormati,dan membahagiakan saudaranya.

Jangan pernah menyuruh orang lain sebelum menyuruh diri sendiri, 

jangan pernah melarang orang lain 

sebelum melarang diri sendiri. 

Waspadalah jika ibadah sudah mulai malas, dan hal yang buruk mulai dilakukan.

Karena itu 

Pertanda mulai goyah dalam kepercayaan.

Jadilah manusia yang merdeka yang berani tampil apa adanya. 

Orang yang sibuk membangun topeng, 

akan selalu di jajah oleh topengnya sendiri

Orang yang membangun diri pribadi 

Tak gentar kehilangan topeng.

Semakin banyak keinginanduniawi,

semakin mencuri pikiran, waktu, tenaga, dan kebahagiaankita, 

padahal kebahagiaan dan kecukupan,

adalah milik orang yang bersyukur.

Tugas Bahasa Indonesia



Bahasa Hati.

Ia berbicara dengan bahasa hati. 

Hinggajatuh air jernih

Mengalir membasahi pipi.. ... 

Bahasa intonasinya 

Sungguh menusuk jantung ini.. 

Tak kasar lembut saja,

namun penuh maksud ketegasan dalam bait madahnya

Orang tak tahu cara penuh tersendiri

tapi aku tahu

Itulah caranya tersendiri..

Rabu, 11 Juni 2014

Tugas Bahasa Indonesia

SERAGAM

Lelaki jangkung berwajah terang yang membukakan pintu terlihat takjub begitu mengenali saya. Pastinya dia sama sekali tidak menyangka akan kedatangan saya yang tiba-tiba.
Ketika kemudian dengan keramahan yang tidak dibuat-buat, saya dipersilahkan untuk masuk, tanpa ragu-ragu saya memilih langsung menuju amben di seberang ruangan. Nikmat rasanya duduk di atas balai-balai bambu beralas tikar pandan itu. Dia pun turut duduk, tapi pandangannya justru diarahkan ke luar jendela, pada pohon-pohon cengkeh yang berderet seperti barisan murid kelas kami dahulu saat mengikuti upacara bendera tiap Senin. Saya paham, kejutan ini pastilah membuat hatinya diliputi keharuan yang tidak bisa diungkapkannya dengan kata-kata. Dia butuh untuk menetralisirnya sebentar.
Dia adalah sahabat masa kecil terbaik saya. Hampir 20 tahun lalu kami berpisah karena keluarga saya harus boyongan ke kota tempat kerja Ayah yang baru di luar pulau hingga kembali beberapa tahun kemudian untuk menetap di kota kabupaten. Itu saya ceritakan padanya, sekaligus mengucapkan maaf karena sama sekali belum pernah menyambanginya sejak itu.
”Jadi, apa yang membawamu kemari?”
”Kenangan.”
”Palsu! Kalau ini hanya soal kenangan, tidak perlu menunggu 12 tahun setelah keluargamu kembali dan menetap 25 kilometer saja dari sini.”
Saya tersenyum. Hanya sebentar kecanggungan di antara kami sebelum kata-kata obrolan meluncur seperti peluru-peluru yang berebutan keluar dari senapan.
Bertemu dengannya, mau tidak mau mengingatkan kembali pada pengalaman kami dahulu. Pengalaman yang menjadikan dia, walau tidak setiap waktu, selalu lekat di ingatan saya. Tentu dia mengingatnya pula, bahkan saya yakin rasa yang diidapnya lebih besar efeknya. Karena sebagai seorang sahabat, dia jelas jauh lebih tulus dan setia daripada saya.
Malam itu saya berada di sini, memperhatikannya belajar. Teplok yang menjadi penerang ruangan diletakkan di atas meja, hampir mendekat sama sekali dengan wajahnya jika dia menunduk untuk menulis. Di atas amben, ayahnya santai merokok. Sesekali menyalakan pemantik jika bara rokok lintingannya soak bertemu potongan besar cengkeh atau kemenyan yang tidak lembut diirisnya. Ibunya, seorang perempuan yang banyak tertawa, berada di sudut sembari bekerja memilin sabut-sabut kelapa menjadi tambang. Saat-saat seperti itu ditambah percakapan-percakapan apa saja yang mungkin berlaku di antara kami hampir setiap malam saya nikmati. Itu yang membuat perasaan saya semakin dekat dengan kesahajaan hidup keluarganya.
Selesai belajar, dia menyuruh saya pulang karena hendak pergi mencari jangkrik. Saya langsung menyatakan ingin ikut, tapi dia keberatan. Ayah dan ibunya pun melarang. Sering memang saya mendengar anak-anak beramai- ramai berangkat ke sawah selepas isya untuk mencari jangkrik. Jangkrik-jangkrik yang diperoleh nantinya dapat dijual atau hanya sebagai koleksi, ditempatkan di sebuah kotak, lalu sesekali digelitik dengan lidi atau sehelai ijuk agar berderik lantang. Dari apa yang saya dengar itu, proses mencarinya sangat mengasyikkan. Sayang, Ayah tidak pernah membolehkan saya. Tapi malam itu toh saya nekat dan sahabat saya itu akhirnya tidak kuasa menolak.
”Tidak ganti baju?” tanya saya heran begitu dia langsung memimpin untuk berangkat. Itu hari Jumat. Seragam coklat Pramuka yang dikenakannya sejak pagi masih akan terpakai untuk bersekolah sehari lagi. Saya tahu, dia memang tidak memiliki banyak pakaian hingga seragam sekolah biasa dipakai kapan saja. Tapi memakainya untuk pergi ke sawah mencari jangkrik, rasanya sangat-sangat tidak elok.
”Tanggung,” jawabnya.
Sambil menggerutu tidak senang, saya mengambil alih obor dari tangannya. Kami lalu berjalan sepanjang galengan besar di areal persawahan beberapa puluh meter setelah melewati kebun dan kolam gurami di belakang rumahnya. Di kejauhan, terlihat beberapa titik cahaya obor milik para pencari jangkrik selain kami. Rasa hati jadi tenang. Musim kemarau, tanah persawahan yang pecah-pecah, gelap yang nyata ditambah angin bersiuran di areal terbuka memang memberikan sensasi aneh. Saya merasa tidak akan berani berada di sana sendirian.
Kami turun menyusuri petak-petak sawah hingga jauh ke barat. Hanya dalam beberapa menit, dua ekor jangkrik telah didapat dan dimasukkan ke dalam bumbung yang terikat tali rafia di pinggang sahabat saya itu. Saya mengikuti dengan antusias, tapi sendal jepit menyulitkan saya karena tanah kering membuatnya berkali-kali terlepas, tersangkut, atau bahkan terjepit masuk di antara retakan-retakannya. Tunggak batang-batang padi yang tersisa pun bisa menelusup dan menyakiti telapak kaki. Tapi melihat dia tenang-tenang saja walaupun tak memakai alas kaki, saya tak mengeluh karena gengsi.
Rasanya belum terlalu lama kami berada di sana dan bumbung baru terisi beberapa ekor jangkrik ketika tiba-tiba angin berubah perangai. Lidah api bergoyang menjilat wajah saya yang tengah merunduk. Kaget, pantat obor itu justru saya angkat tinggi-tinggi sehingga minyak mendorong sumbunya terlepas. Api dengan cepat berpindah membakar punggung saya!
”Berguling! Berguling!” terdengar teriakannya sembari melepaskan seragam coklatnya untuk dipakai menyabet punggung saya. Saya terjerembab dalam kepanikan. Tidak saya rasakan kerasnya tanah persawahan atau tunggak-tunggak batang padi yang menusuk-nusuk tubuh dan wajah saat bergulingan. Pikiran saya hanya terfokus pada api dan tak sempat untuk berpikir bahwa saat itu saya akan bisa mendapat luka yang lebih banyak karena gerakan itu. Sulit dilukiskan rasa takut yang saya rasakan. Malam yang saya pikir akan menyenangkan justru berubah menjadi teror yang mencekam!
Ketika akhirnya api padam, saya rasakan pedih yang luar biasa menjalar dari punggung hingga ke leher. Baju yang saya kenakan habis sepertiganya, sementara sebagian kainnya yang gosong menyatu dengan kulit. Sahabat saya itu tanggap melingkupi tubuh saya dengan seragam coklatnya melihat saya mulai menangis dan menggigil antara kesakitan dan kedinginan. Lalu dengan suara bergetar, dia mencoba membuat isyarat dengan mulutnya. Sayang, tidak ada seorang pun yang mendekat dan dia sendiri kemudian mengakui bahwa kami telah terlalu jauh berjalan. Sadar saya membutuhkan pertolongan secepatnya, dia menggendong saya di atas punggungnya lalu berlari sembari membujuk-bujuk saya untuk tetap tenang. Napasnya memburu kelelahan, tapi rasa tanggung jawab yang besar seperti memberinya kekuatan berlipat. Sayang, sesampai di rumah bukan lain yang didapatnya kecuali caci maki Ayah dan Ibu. Pipinya sempat pula kena tampar Ayah yang murka.
Saya langsung dilarikan ke puskesmas kecamatan. Seragam coklat Pramuka yang melingkupi tubuh saya disingkirkan entah ke mana oleh mantri. Tidak pernah terlintas di pikiran saya untuk meminta kepada Ayah agar menggantinya setelah itu. Dari yang saya dengar selama hampir sebulan tidak masuk sekolah, beberapa kali dia terpaksa membolos di hari Jumat dan Sabtu karena belum mampu membeli gantinya.
”Salahmu sendiri, tidak minta ganti,” kata saya selesai kami mengingat kejadian itu.
”Mengajakmu saja sudah sebuah kesalahan. Aku takut ayahmu bertambah marah nantinya. Ayahku tidak mau mempermasalahkan tamparan ayahmu, apalagi seragam itu. Dia lebih memilih membelikan yang baru walaupun harus menunggu beberapa minggu.”
Kami tertawa. Tertawa dan tertawa seakan-akan seluruh rentetan kejadian yang akhirnya menjadi pengingat abadi persahabatan kami itu bukanlah sebuah kejadian meloloskan diri dari maut karena waktu telah menghapus semua kengeriannya.
Dia lalu mengajak saya ke halaman belakang di mana kami pernah bersama-sama membuat kolam gurami. Kolam itu sudah tiada, diuruk sejak lama berganti menjadi sebuah gudang tempatnya kini berkreasi membuat kerajinan dari bambu. Hasil dari tangan terampilnya itu ditambah pembagian keuntungan sawah garapan milik orang lainlah yang menghidupi istri dan dua anaknya hingga kini.
Ayah dan ibunya sudah meninggal, tapi sebuah masalah berat kini menjeratnya. Dia bercerita, sertifikat rumah dan tanah peninggalan orangtua justru tergadaikan.
”Kakakku itu, masih sama sifatnya seperti kau mengenalnya dulu. Hanya kini, semakin tua dia semakin tidak tahu diri.”
”Ulahnya?” Dia mengangguk.
”Kau tahu, rumah dan tanah yang tidak seberapa luas ini adalah milik kami paling berharga. Tapi aku tidak kuasa untuk menolak kemauannya mencari pinjaman modal usaha dengan mengagunkan semuanya. Aku percaya padanya, peduli padanya. Tapi, dia tidak memiliki rasa yang sama terhadapku. Dia mengkhianati kepercayaanku. Usahanya kandas dan kini beban berat ada di pundakku.” Terbayang sosok kakaknya dahulu, seorang remaja putus sekolah yang selalu menyusahkan orangtua dengan kenakalan-kenakalannya. Kini setelah beranjak tua, masih pula dia menyusahkan adik satu-satunya.
”Kami akan bertahan,” katanya tersenyum saat melepas saya setelah hari beranjak sore. Ada kesungguhan dalam suaranya.
Sepanjang perjalanan pulang, pikiran saya tidak pernah lepas dari sahabat saya yang baik itu. Saya malu. Sebagai sahabat, saya merasa belum pernah berbuat baik padanya. Tidak pula yakin akan mampu melakukan seperti yang dilakukannya untuk menolong saya di malam itu. Dia telah membuktikan bahwa keberanian dan rasa tanggung jawab yang besar bisa timbul dari sebuah persahabatan yang tulus.

Mata saya kemudian melirik seragam dinas yang tersampir di sandaran jok belakang. Sebagai jaksa yang baru saja menangani satu kasus perdata, seragam itu belum bisa membuat saya bangga. Nilainya jelas jauh lebih kecil dibanding nilai persahabatan yang saya dapatkan dari sebuah seragam coklat Pramuka. Tapi dia tidak tahu, dengan seragam dinas itu, sayalah yang akan mengeksekusi pengosongan tanah dan rumahnya.

Tugas Bahasa Indonesia


DOSA TERINDAH

Aku mengenalnya di suatu pelatihan beberapa tahun silam, awalnya aku sudah tertarik, entah apa yang aku pikirkan, seakan aku tidak menyadari statusku saat aku bertemu dengannya, ia membalas sama denganku, hari demi hari kami lalui bersama, kembali seakan-akan kami masih anak sekolahan yang duduk di bangku SMA, kami menghabiskan waktu dengan bercanda, tertawa saling ejek dan bahkan hal yang tidak pernah kami sadari berapa usia kami saat itu, saat ini usia kami sudah berkepala tiga, terkadang ada waktu dimana kami libur pelatihan satu hari, kami menyempatkan nonton bioskop dan jalan-jalan ke pusat kota, tawa canda sama persis anak SMA yang sedang pacaran, indah sekali.
Di ujung pelatihan itu, kami berkumpul sekedar membuat acara kecil sebagai perpisahan, semua bahagia, tertawa, berjoget, dah bahkan di antara mereka saling bercerita tentang kesan mereka selama 3 minggu bersama.
Rafa, namanya seperti anak kecil, karena matanya yang bulat, aku punya julukan sendiri “sapi” hahahahaha, aku begitu suka memanggilnya begitu, bahkan teman-teman ku pun tak lepas memanggilnya begitu, seakan tak mau kalah, ia memanggilku “penyu” entah dasar apa ia memanggilku dengan embeem,
“Mbeem ikut aku yuk” ia menarik tangan ku, dan kami berlalu dari kerumunan teman-teman kami, ia mengajak ku ke lantai atas gedung tempat kami menginap
“Ngapain?”
“Pengen ngabisin malam ini sama kamu” aku terkejut bukan kepalang ia berkata begitu “Hahahaha… jangan jorok ya” spontannya membuat aku malu akan pikiran jelekku. “habisnya kata-katamu” jawabku tertawa geli. ia menarikku ke sebuah bangku
“Mbeem, cepet banget ya, kaya baru  kemarin kita ketemu”
“Memangnya kenapa?!” jawabku
“Rasanya aku enggak pengen balik, masih pengen sama temen-temen, terutama kamu”
“Ya jelaslah.. aku kan orang paling ngangenin” jawabku sedikit membanggakan. dia tertawa, kemudian menarik hidung ku yang sedikit pesek,
“Aku baru tau… ternyata kota kecil tempat kita, nyimpen orang yang paling gemesin”
“Siapa?” tanyaku penuh harap
“Tutik” Tutik teman kita satu-satunya kelompok kita yang masih berstatus lajang
“Hahahahaha aku pikir kamu bilang aku” dia berhenti terseyum, ia menatapku
“Ya pastinya kamu lah mbeem”
“Masa? tadi bilang tutik, ayo jangan-jangan kamu naksir dia?!”
“Dosa enggak ya? kalau aku suka sama kamu?”
Aku terdiam mendengar kata-kata yang baru saja terlontar dari mulut Rafa
aku mencoba mengatur perasaan yang bergejolak dalam diriku, jujur aku sangat menikmati kebersamaan ku bersama Rafa, tetapi di kehidupan ku sebenarnya ada suami serta anak yang sangat mencintaiku. Tino perlahan menatapku, ia berdiri tepat di hadapanku, mulai menggenggam tanganku, dan aku tak sedikitpun menolaknya
“Maafkan aku ya, aku tidak bisa menyembunyikan perasaan ku, aku sayang sama kamu”
Aku masih berdiri dalam diamku
“Suamimu pasti sangat mencintaimu, dan aku tau betapa kamu sangat berharga untuknya” ucapnya
“Aku tau… dan kamu tidak perlu membalas rasa sayangku ke kamu, kebersamaan kita selama ini, sudah cukup untuk aku merasakan kebahagian yang ku cari, kamu tidak hanya membuatku tersenyum, tapi.. aku juga merasakan aku yang sebenarnya bila sama kamu, aku hanya menyesalakan, kenapa kita harus bertemu disaat ikatan telah mengekang kita, mbeem… masihkah kamu akan menghubungi ku setelah berakhirnya semua ini?”
Aku masih terpaku dalam kegelisahan ku
“Rafa, aku sangat bahagia dengan suamiku, dia adalah pria yang tidak pernah menyakiti ku sampai detik ini, dia tidak merubah apapun tentangku selama ini, tapi.. aku juga tidak bisa memungkiri perasaan ku terhadapmu, selama 3 minggu ini, aku bisa melupakan kebahagian bersama suamiku, aku menemukan sesuatu yang lain yang belum pernah kurasakan selama ini, tapi… aku tidak bisa menyakiti suami dan juga istrimu, karena aku juga belum yakin, kau kelak akan membahagiakan ku seperti suami ku membahagiakanku, dan aku juga tak bisa menjanjikan kebahagiaan seperti istrimu, biarlah ini cerita terindah dalam diri kita, simpanlah aku sebagai kenangan indah untukmu”
Tino menatapku dalam, perlahan ia mendekatiku, ia merengkuh jemariku, membelai wajahku, ia tersenyum, membuat aku ingin menghentikan waktu saat itu, ia mencium bibirku, ciuman yang hangat bukan ciuman nafsu, ia terus mendekapkan daun bibirnya di tepi daun bibirku, kami berpelukan, ia mendekapku erat. aku mulai hanyut dalam perasaanya,
“Rafa, maaf, ini kesalahan besar,  jangan diteruskan”
Aku menghindarinya, aku sedikit mundur beberapa langkah dari hadapannya. namun langkahku terhenti oleh rengkuhan tangannya
“Mbeem… maafkan aku”
Aku menghentikan langkahku dan membangkitkan keberanian ku untuk menatapnya
“Rafa, aku cinta sama kamu, tapi aku bisa menodai kebahagiaan keluargaku, aku mengerti, aku pun sangat mencintaimu, dan aku tak ingin kamu terluka oleh cintaku, biarlah kita kembali seperti awal. Terima kasih tino, terima kasih atas semuanya, atas kenangan yang tak terbatas ini, atas rasa yang tak tercipta ini, aku minta satu hal, tetaplah menjadi tino yang aku kenal saat ini, kapanpun kita ditakdirkan bertemu kembali, tetaplah menjadi Rafa, pendamlah rasa ini, biarlah ia akan mati dengan sendirinya”.

Tino tersenyum kembali, ia menggapai tangan ku, dan mengajakku kembali ke tempat teman-teman berkumpul.

Tugas Bahasa Indonesia


SENDU


Ku terdiam di sudut ruangan menyandarkan tubuhku yang kurasakan amat lelah. Lututku ku tekuk kemudian ku peluk. Pandanganku kosong. Aku sibuk menikmati suasana hati yang bergemuruh. Teringat semua ucapan Mama yang berhasil membuatku terkoyak. Aku tak akan bisa setegar Mama menghadapi ini. Perlahan air mataku menetes membasahi pipiku. Aku tak tahu kenapa semua ini bisa terjadi padaku, pada keluargaku.
Dengan berat aku melangkahkan kakiku menuju gedung megah yang dihiasi kain serba putih. Terlihat beraneka macam rangkaian bunga disana. Di sekitarku banyak sekali orang yang berusaha masuk ke dalam gedung tersebut. Mama meraih tanganku lalu dipegangnya erat-erat seolah ia berusaha menegarkanku menghadapi semua ini. Dengan sangat enggan aku mengikuti langkah mama memasuki ruangan yang sangat megah itu. Mataku menangkap sesosok laki-laki yang dulu amat berarti bagiku duduk di kursi singgasana bak seorang raja. Di sampingnya duduk manis seorang wanita, perenggut kebahagiaanku. Papaku telah memilih meninggalkanku dan Mama demi wanita bejat tersebut. Setetes air bening menggenang di sudut mataku, namun aku mencoba menahannya agar tak jatuh di pipiku. Aku telah berjanji pada diriku sendiri tak akan pernah meneteskan air mataku untuk lelaki pengkhianat itu. Aku sadar tak seharusnya aku bersikap seperti itu, namun kekecewaan yang begitu dalam membuatku sulit untuk memaafkannya, amat sangat sulit.
Mama menghentikan langkahnya. Kulirik Mama, kutatap wajah sendunya. Tatapannya lurus mengarah pada lelaki bejat itu. Namun tak kulihat ada setitik kebencian pun di raut wajahnya. Oh Ma, andaikan aku bisa setegar engkau. Mama menghela nafas berat. Aku tahu ia sedang berusaha mengatur perasaannya. Aku tau ada segurat luka di hatinya yang pasti lebih dalam daripada luka di hatiku. Ingin ku ucapkan sepatah kata penghibur hati untuknya, namun mulut ini tetap terbungkam tak mampu untuk mengucapkannya. Mama mulai menarik tanganku mengajakku melangkah kembali. Ku ikuti langkah kakinya. Kini Mama mengajakku mendekati lelaki dan wanita bejat itu. Jika bukan karena Mama, aku tak akan sudi bertemu dengannya lagi.
“Selamat ya mas, semoga apa yang telah engkau pilih ini adalah yang terbaik untukmu. Akan ku do’akan semoga hidupmu yang baru nanti penuh dengan kebahagiaan. Dan aku minta do’amu agar kelak aku dan Sasha menemukan jalan kebahagiaan kami .
Mama menyalami lelaki bejat itu. Kutatap wajah wanita bejat di sampingnya. Angkuh. Di wajahnya tersirat seulas senyum jahat yang sarat dengan kemenangan. Kemudian kutatap wajah lelaki bejat itu, berbeda. Rasa hormatku yang dulu amat besar untuknya, sosok Papa yang sangat aku banggakan, yang sangat aku sayangi, kini telah hilang. Seolah tak ada rasa hormat lagi untuknya.

“Iya Han, semoga engkau mendapatkan yang terbaik, lelaki yang bertanggungjawab dan menyayangi keluarga. Terimakasih ya Han sudah meluangkan waktu untuk hadir di pernikahanku.” Lelaki bejat itu menyambut tangan. Sejurus kemudian ia memandangku. Secepat kilat aku mengalihkan pandanganku. Enggan aku bertatapan muka dengannya. Hanya akan menambah luka di hatiku saja.

“Sasha tak ingin bersalaman dengan Papa?” kalimat itu terlontar dari mulut besarnya. Aku tak sanggup lagi. Kusentakkan tanganku hingga terlepas dari genggaman Mama. Aku berlari sekuat tenaga. Masih kudengar teriakan Mama memanggil namaku ketika aku keluar dari gedung tersebut. Aku tak sanggup, benar-benar tak sanggup. Setetes kristal bening mengalir di pipiku. Aku terus berlari membawa kepedihan hati ini. Entah kemana arahku berlari, yang pasti aku hanya mengikuti kemana kaki ini akan melangkah.
Aku menghentikan langkahku di tepi danau. Air mataku semakin deras. Hatiku terasa perih. Tak sanggup aku melewati semua ini. Sesaat terlintas bayangan Mama di benakku. “maafkan Sasha, Ma. Maafkan, aku benar-benar tak sanggup.” Mama pasti kecewa. Amat sangat kecewa. Terlalu berat beban yang harus aku pikul. Ku pejamkan mataku. Ku hirup dalam-dalam udara sekitar danau. Tenang, aku merasa tenang. Nyaman sekali. Ku buka mataku, ku pandang segala sesuatu yang ada di hadapanku. Ajaib, sangat indah. Sudah sejak satu jam yang lalu aku duduk disini, baru ku sadari betapa indahnya tempat ini. Aku memandang dalam kejauhan. Terbayang sosok Papa yang dulu ku kenal. Begitu berwibawa dan bertanggungjawab. Disela-sela kesibukannya, ia selalu menyempatkan waktu untuk keluarga. Setiap ada kesempatan berlibur, ia selalu menanyakan kepadaku tempat apa yang ingin aku kunjungi. Aku merasa akulah satu-satunya orang yang paling bahagia di dunia. Aku mempunyai apapun yang di inginkan semua orang. Aku memiliki keluarga yang sangat peduli kepadaku, rumah megah, mobil mewah, berbagai macam mainan modern, aku memiliki semuanya. Aku pun bisa pergi keliling dunia kemanapun aku mau bersama orang-orang tercintaku, Mama dan Papa. Tiupan angin menyadarkan lamunanku. Kulirik jam di pergelangan tanganku. Mataku terbelalak. Sudah sesore ini? Aku beranjak pergi, meninggalkan tempat yang indah ini. Mama pasti menghawatirkanku.
Ku langkahkan kaki menuju halaman rumahku. Sejenak aku berhenti. Kupandangi kursi hias di tengah taman depan rumahku. Terlihat sekelebat bayangan masa lalu. Masa kecilku yang bahagia, bercanda ria bersama mama papa. Meskipun aku tak punya saudara, namun aku cukup bahagia karena aku dilimpahi kekayaan yang luar biasa dan keluarga harmonis. Disitu, di kursi itu, kami sering duduk bertiga bercanda ria mengurai tawa. Papa yang hebat, yang selalu kubanggakan, sosok pahlawan bagiku, dan berwibawa di hadapan semua orang. Hanya tinggal kenangan. Aku tak ingin mengeluarkan air mataku lagi. Perlahan aku meninggalkan taman, beranjak melangkahkan kaki melewati halaman rumahku yang begitu luas.
Kuedarkan pandanganku ke seluruh sudut ruangan. Kudapati Mama sedang berdiri di depan jendela yang berhadapan langsung dengan taman. Kudekati Mama.
“Maafin Sasha, Ma. Ara tahu Mama sangat kecewa dengan sikap Sasha tadi. Ingin sekali Sasha mengikuti keinginan Mama untuk menghormati Papa. Namun sulit Ma, gejolak hati Sasha mengatakan tidak. Sasha tak sanggup.” Ku peluk Mama dari belakang. Pinggulnya kini tak seberisi dulu ketika aku masih sering sekali memeluknya, ketika Papa masih ada di tengah-tengah kami. Tubuhnya kini semakin kurus. Mama membalikkan badannya, menarik tanganku.

“Mama mengerti perasaanmu Sasha. Tak mudah bagimu menerima semua ini. Namun ini semua kenyataan, ini yang terjadi. Kamu harus menerimanya dengan ikhlas.” Mama mengusap air mataku. Air mata itu mengalir begitu saja di pipiku. Kupeluk Mama erat-erat. Kubisikkan sebuah kalimat di telinganya. “andaikan aku setegar Mama.”
Aku bersimpuh di atas sajadah merahku. Kubiarkan tangisku pecah malam itu. Mengadukan nasib dan keadaanku kepada penciptaku. Aku tahu semua ini adalah takdirnya.
“Ya Allah yang maha pengasih penyayang, yang maha pemurah, yang maha adil, yang maha segalanya. Hamba ini hanyalah seorang yang lemah, yang tak akan mampu menjalani hidup tanpa rahmat dan hidayahMu. Hamba tau semua ini adalah yang terbaik untuk hamba. Engkau biarkan hamba mengerti semua itu, namun kenapa tak Kau biarkan hamba mengerti tentang keikhlasan ya Allah. Ikhlaskanlah hati hamba Ya Allah, kuatkanlah hamba menghadapi semua ini. Engkaulah yang maha membolak balikkan hati ya Allah. Hanya kepadaMu lah hamba memohon pertolongan. Robbana aatina fiddunya khasannah wafil akhiroti khasannah waqinaa ‘adzaa bannar.” Aku bersujud di atas sajadahku. Menangis tersedu-sedu. Gemuruh angin kencang malam ini, menemani sujud panjangku. Aku tahu Allah mendengar do’aku. Dan itu pasti.
Kusambut kehidupan baruku. Hanya ada aku, Mama, pekerjaanku, dan Tuhanku. Aku akan mencoba mensyukuri apa yang telah aku punya, mengikhlaskan semua yang sudah terjadi. Kini aku mengerti bahwa yang telah hilang itu memang bukan hakku. Aku tersenyum memandang dunia. Ya, awal dari segalanya, tak akan pernah kubiarkan senyum ini sirna kembali.