Sabtu, 17 Mei 2014

Tugas Bahasa Indonesia



NEGERI
     “Ketika ibumu masih berlarian dengan mainan, depan rumah ini banyak berderet pepohonan. Mangga, sawo, bahkan perdu warna-warni. Rindang daunnya itu, seperti geraian rambut bidadari. Hingga kita bisa lihat, cahaya matahari seperti mengajak bermain. Ia datang dan sembunyi diantara helaian daun tua dan muda. Sekarang sudah tidak. Entah mengapa. Mungkin karena negara kita terus mengejar kemajuan Amerika. Kau pasti banyak tahu hal itu di sekolah. Manusianya pun sudah sesak. Hingga betul, perlu pembangunan di berbagai bidang. Yang harus mengorbankan keindahan, lebih jahatnya lagi, harus rela mengorbankan kenangan-kenangan yang terjadi di tempat kejadian. Oh ya, maaf kebablasan waĆ©. Sana sekolah. Belajar yang benar!”
      Dapat dipastikan, setiap pagi, di depan rumahku ini Kakek duduk di hadapan kopi tanpa gula apalagi duka, roti tanpa selai nanas, hanya diisi dengan seoles mentega kasih sayang. Ia makan sambil membaca koran. Kakek memang pembaca koran sejati. Tapi bagiku, ia lebih sebagai juru cerita yang baik hati. Dari mulutnya selalu mengalir  cerita yang berbeda. Semuanya dirangkai dengan indah. Mungkin karena dulunya ia pujangga. Mungkin karena itu pula Nenek jatuh cinta. Tapi, cerita seringkali membuat Kakek lupa, bahwa aku harus pergi ke sekolah. Seperti tadi.
       “Tapi hari ini aku tak akan masuk sekolah Kek. Siang nanti aku akan pergi ke Bogor untuk kompetisi.”
      “Oh ya? Kamu ini memang pintar, baik pula.” pujiannya selalu membuatku tersipu. Ingin balik memuji, tapi apa yang harus kuucapkan pertama kali? Sementara Kakek kembali menyambar, berbicara.
       “Bagaimana kalau kita menanam pohon pagi ini, Nak?”
       Kali ini aku memberanikan diri untuk melawan. Tak ingin ia mendapat kekecewaan.
       “Aduh Kek, kan siang nanti aku berangkat. Takut lelah.”
       “Menanam pohon tak menghabiskan tenaga banyak. Hanya perlu keikhlasan untuk mengobati lelahnya.”
      Harus kucari alasan lain agar hal itu tak terjadi. Aku tak mau Kakek tahu. Biarlah ia kira masih baik segalanya, masih baik alam depan rumahnya.
     “Tetap saja Kek akan lelah, hehe. Lagipula banyak hal yang harus aku persiapkan. Bibit pohonnya juga kan belum ada, Kek.”
      “Tetangga kita, Pak Dodo, pegawai Kehutanan itu, punya banyak bibit pohon di halaman rumahnya. Tak apalah jika kita minta barang satu atau dua pohon. Kamu akan lama di Bogor? Siapa tahu ini pagi terakhir sama Kakek.”
      Kali ini aku tak bisa. Perkataan terakhirnya. Siapa tahu ini pagi terakhir bersama Kakek.  Membuat kuduk takut. Dengan sendirinya tanganku mulai merangkul Kakek. Membawanya keluar. Melihat kehancuran.
       Ya, sebuah kehancuran bagi hatinya yang damai dan penuh harapan. Tepat malam tadi, ada tamu datang ke rumahku. Katanya dari sebuah Lembaga Pemerintahan. Mereka datang dengan membawa beberapa bingkisan. Aku mendengar samar, Ia berkata pada Ayah bahwa besok penggalian akan sampai ke depan rumahku. Dan meminta izin untuk menggali jalan masuk ke rumahku. Ia mengeluarkan segala keterangan, tapi Ayah hanya balas dengan senyuman. Tentu, senyuman satu-satunya jalan untuk melakukan perlawanan. Untungnya Kakek sedang berada di kamarnya. Diam, entah ngaji, atau melihati foto Nenek yang baginya kian hari kian menarik, kian cantik.
      Penggalian itu. Penggalian oleh manusia hitam besar. Mesin dengan mata pisau tajam. Dan pipa-pipa besi besar yang ditembuskan kedalam tanah. Tanah takbisa melawan, hanya pasrah pada keperkasaan para penggali dengan mesin yang tajam sekali, dan kuatnya pipa besi. Penggalian ini telah mengundang banyak pembicaraan. Kata teman sekolahku yang rumahnya cukup jauh dari sekolah, angkutan kota yang membawanya menjadi sering diam, susah jalan. Karena jalanan semakin menyempit oleh tanah yang berasal dari galian. Ia sudah berusaha untuk datang tak terlambat. Jika detik jam sudah mendekat untuk menekan bel di sekolah, ia terpaksa turun dan mulai berlari dari angkot. Dengan tasnya yang besar karena tugas  guru-guru yang terus membludak, mungkin. Keringat turun ke pangkal kerah kemeja seragamnya. Sepatunya tak menggubris batuan atau kerikil yang menghalangi. Tapi tetap, meski sudah berlari sedemikian kuat, ia tetap harus diam terlebih dahulu di gerbang. Karena datang siang. Katanya, ia berangkat sama dengan jam-jam biasa. Sementara bagi warga pinggir jalan ini, penggalian itu tentu sedikit banyak merusak rumah mereka. Pagar-pagar yang telah dipulas sedemikian indah dengan warna yang sudah dikira, dipikir, agar kian indah nian rupa rumah mereka, rusak sedemikian saja oleh tanah basah yang semburat dari dalam tanah. Mungkin itulah satu-satunya cara tanah menangis, mengeluarkan kesakitan mereka. Sehingga sebagian dari mereka membiarkan rumah mereka rusak sementara. Selain mungkin karena biaya, mereka membiarkan dengan anggapan setidaknya rumah mereka dapat dijadikan bahu sandaran, bagi alam yang sedang ketakutan. Kata penggali, pipa ini untuk air minum masyarakat. Untuk kesejahteraan juga. Tapi mengapa harus mengorbankan kesejahteraan demi sebuah kesejahteraan baru yang belum tentu kita rasakan? Kata Kakek sih demikian. Suatu hari, ketika ia bercerita (lagi-lagi) tentang Amerika. Dan bangsa kita yang tunduk jadi budaknya.
      Tamu itu datang malam tadi. Bercerita bahwa penggalian hari ini akan sampai tepat di depan rumahku. Penggalian yang memakan banyak pengorbanan. Malam itu Kakek sedang di kamar. Kakek belum tahu. Tapi pagi ini juga, ia pasti akan tahu. Dan ia sedang bersamaku untuk menanam pohon di depan rumah yang akan segera dihancurkan.
      Mang Dadang, yang biasa membantu di rumah ini datang dengan membawa dua bibit pohon terompet cantik, dan dua bibit pohon yoiko. Katanya pohon itu mudah tumbuh membesar, hingga cepat meneduhi pekarangan atau jalanan. Tapi aku kira, pohon ini tak akan mampu tumbuh di tanah yang sedang terluka. Tanah yang sedang mereka gali dalam-dalam.
      Matahari menguning di rambut kakek yang putih. Mencahayai wajahnya yang sedang sumringah cerah. Mungkin karena sebentar lagi ia akan menanam pohon harapan.
     “Jika nanti Kakek mati, tolong doakanlah Kakek selalu ketika kalian melihat pohon itu tumbuh depan rumah kalian. Meneduhi rumah kalian. Biarkan pohon itu tetap berada di depan sana. Biar Kakek tetap bisa meneduhi, menyegarkan kehidupan keluarga Kakek sendiri,” ucapnya sambil memegang parang untuk menanam harapan, sekaligus kenang-kenangan.
      “Hus, jangan berbicara seperti itu Kek. Jika memang waktunya sampai, kita tentu akan merawatnya agar terus tumbuh kebaikan Kakek di hati kami. Dan tentu doa-doa akan selalu kami larungkan ke sungai surga tempatmu tinggal kelak. Amiin. Kali ini aku bisa memuji. Mungkin pujian ini dapat menjadi obat ketika nanti ia terlukai. Kita berjalan pelan dan sudah mulai sangat dekat dengan pintu pagar. Aku mencoba memperlambat. Apalagi ketika suara mesin itu mulai meradang. Tapi tangan kakek mulai menyentuh tangkai pagar. Ia mulai membuka. Aku menggandeng erat tangannya. Dan matanya, kini telah sampai, melihat segala yang aku takutkan. Penggalian pipa itu, kini tepat berada dihadapannya.
      Raut keningnya yang sumringah, berubah menjadi raut wajah gelisah. Ia hanya diam. Menantang matahari yang mulai naik dari timur. Menantang para penggali hitam besar. Ia diam. Terlihat sekali tubuhnya mulai melemah. Ia memegangku erat. Seperti menyampaikan sebuah pesan isyarat. Isyarat kepedihan dirinya.
     Jalanan mulai memadat. Hitam aspal berubah menjadi warna-warni kendaraan. Merah lebih dominan, warna kendaraan yang mengangkut banyak siswa hingga berjejal. Asap dari bepuluh pipa knalpot semakin membumbung ke udara. Suara gemuruh mesin beradu dengan denting linggis yang terus memecah kokoh batu-batu. Keringat penggali mulai meruap. Beradu kuat dengan keringat tegang para siswa yang keluar dari sela-sela jendela angkutan kota. Waktu terus mendetakkan tubuhnya. Tanpa ampun. Jalanan semakin padat dengan berbagai kendaraan, Terisi sudah tubuh jalan yang kian menyempit ini. Seolah tak mau dikalahkan waktu. Klakson mulai saling bersahutan. Tapi klakson tak mampu memperlebar jalan. Motor menyelip setiap kesempatan. Seorang Ibu di seberang sana berjalan sangat cepat. Dengan dua tas sayuran besar ditangannya. Ada seorang pemulung menonton bengong. Baginya mungkin ini sebuah hiburan. Dari arah jalan yang lain mulai masuk truk kuning yang amat gagah. Tapi tak indah.Truk pengangkut sampah.Ia masuk seolah semuanya dapat menyingkir padanya.
     “Inilah Amerikanya Indonesia, Nak.” Pegangannya semakin kuat .Ia berkata sambil tersenyum sinis. “Lihat..” katanya sambil menunjuk ke arah bawah.
      Pasukan penggali ada yang datang lagi. Mereka mengangkut pipa sediameter pohon jati tua.Menyeruduk kendaraan-kendaraan. Mereka memang yang kini berkuasa di jalanan. Klakson dan amarah makin mengerang. “Minggirr woyyy!” kata salah seorang sopir angkot dengan urat lehernya yang kian kuat. Depan mataku kini sudah berubah pula baunya dari truk pengangkut sampah yang ikut meramaikan. Waktu di jam tangan menggeliat pegal. Kulihat semakin mendekat ke pukul tujuh.
    “Kasihan teman-temanmu yang berangkat sekolah itu, Nak.” Airmatanya mulai menetes pelan. Clak. Clak. Clak. Ke pipinya yang sudah berlekuk-lekuk.
     Suara klakson. Suara knalpot. Suara teriakkan. Ramai sekali. Sahut menyahut. Seperti hari kemerdekaan yang baru saja datang. Atau seperti suara pasukan dalam perang Diponegoro. Kini bertambah lagi, suara yang paling angker di jalanan. Suara sirine.
   “Kek, syukurlah ada polisi yang datang, mungkin akan mengamankan,” kataku dengan sedikit pengharapan kemacetan akan segera usai.
       “Bukan Nak. Lihat ke bawah jalan sana! Itu ambulan!”
      Ahoi.. Indah nian pagi ini. Ambulan pun ikut meramaikan. Ia seolah tak mau kalah hadir dalam karnaval paling sakral ini. Ia mencoba menyeruduk. Tapi tak ada yang ikhlas mengalah. Semuanya sudah lelah dalam kepadatan yang edan. Jarum seperti berputar kian cepat. Hingga ia menyerah pada pukul tujuh. Siswa turun dari angkutan. Seperti geromboloan semut yang akan memburu gula-gula. Mereka berlari. Mulai menyusuri sela-sela kekosongan diantara kendaraan ke tengah jalan. Berdesakkan di trotoar. Mereka berteriak “cepaat..cepaat..”. Kendaraan semakin mengerang. Mengeluarkan bau tubuh hitam ke udara. Seperti sudah akan bertemu ajalnya. Sampah dari truk itu tumpah ke jalan. Menimpa sebuah motor. Terjadi ketegangan disana. Diamarahinya sopir truk, dan dipungkas dengan pukulan pada bagian pipi. Sopir tak melawan.
     Dentuman dari penggalian terus menggila. Batu-batu kian kokoh. Tanah mulai melakukan perlawanan. Sirine Ambulan yang tadinya melengking merambat ke awan, ke langit, kini mulai memadam. Ambulan itu menurunkan pasiennya, dibawa dengan tandu. Beberapa orang terlihat menggotong dan mulai berlari ke jalanan yang agak lengang. Ia berlari diantara derap kaki para siswa yang takut terlambat datang. Diantara Ibu-ibu yang akan pergi ke pasar. Diantara kendaraan yang sudah kian memucat .Tandu itu terus diusung. Melewati mataku. Ia nenek-nenek yang terisak. Dadanya seperti sangat sesak. Airmatanya mulai meleleh. Beberapa orang dibelakangnya, yang tadi mengikutinya, berhenti depan rumahku. Depan para penggal makian telah dilemparkan sekian kali. Tapi tak digubris pria-pria bertubuh besar itu. Mereka terus menggali. Mungkin mereka tak mengerti. Mereka hanya mengerjakan perintah pimpinan. Tapi kesabaran sudah terlahap amarah. Dipukulinya para penggali itu oleh mereka, sopir truk yang tadi dipukul ikut turun, ingin membalas sakit, ikut memukuli. Sebagian pengendara motor. Sebagian siswa yang geram. Penggali dipukuli warga! Ibu-ibu melemparkan sayurannya. Sementara dari bawah sana datang penggali lain membela. Mereka mengacung-ngacungkan linggis. Orang gila di seberang sana girang. Pertunjukkan semakin ramai. Jalanan berubah menjadi medan pertarungan.
      “Aku mencintai negeri ini, Nak.” Kakek berkata. Airmatanya sudah melimpah ruah. Tubuhnya rubuh. Ia terisak. Dadanya mulai sesak, yang aku takutkan datang. Kakek jatuh sakit.